Selasa, 08 Mei 2018

Bekas Luka Istri

Selama ini aku mengenal istriku sebagai seorang putri raja yang manja. Tetapi aku terkejut ketika suatu hari aku mendapati bekas luka di ujung tangan kanannya. Pasti ada peristiwa besar di baliknya.

"Ini bekas luka apa, dek?" tanyaku pelan.
"Oh, ini dulu waktu kecil sering bantuin kakek di kampung membelah pinang. Yah, saking semangat waktu itu terbelah pula tangan adek, bang." jawab istriku polos.

Kuperhatikan luka itu sekali lagi, kelihatan agak samar memang. Kalau dari jauh tidak kelihatan. Ketika mataku bekerja maksimal, fokus memperhatikan tangannya, ketemu pula bekas luka yang lain. Di bagian bawah ibu jari.

"Kalau yang ini bekas luka apa? Bulat lebar begini?" tanyaku lagi.

"Ini bekas kena setrika, abang. Dulu, waktu pertama kali nyetrika." jawab istriku. Nada polos lagi.

"Oo, saking semangatnya juga?" tanyaku lagi.

"Hehe. Bukan. Ini pas nyoba tes setrikanya udah panas atau belum." istriku nyengir. Aku terbahak.

"Ada pula tes setrika udah panas di tes gosok di tangan," kataku. Terbahak lagi. Istriku nyengir lebar, lebih lebar dari tadi. "Namanya juga lagi belajar," gumamnya.

Tiba-tiba terlihat lagi satu bekas luka di pergelangan tangan. Pas bersilangan dengan urat nadi. Aku memicingkan mata, ini bekas luka yang aneh. Aku mengosok-gosok ibu jariku di bekas luka itu untuk memastikan bekas lukanya nyata. Istriku menarik tangannya.

"Aih abang ni, apa pula digosok-gosok keras kayak gitu,"seru istriku manyun.

"Bukan bekas luka percobaan bunuh diri kan, dek?" tanyaku. Raut mukaku kubuat seserius mungkin.

"Ya bukan lah bang. Adek masih waras." hmmm... Istriku mulai terpancing. Polosnya berganti jadi sangar.

"Jadi apa juga?" aku penasaran betul.

"Ini bekas luka waktu adek loncat pagar pas bolos sekolah SMP dulu. Kena kawat pagarnya di tangan adek."

Aku terdiam. Hening.

"Gini2, adek dulu berandalan. Tapi semenjak SMA adek tobat. Jadilah anggun macam ini. Abang terkejut, kan? Awas kalau abang ilfil. Naluri keberandalan itu masih ada bang."

Aku terpaku. Istriku yang polos, kepolosannya mulai menghilang. Aku tersenyum. Kuelus lembut kepala istriku. Tak apa. Aku mencintainya apa adanya. Sekaligus masa lalunya juga. Tapi ada satu kenyataan yang benar-benar baru kusadari.

Ternyata, kami dulu sama-sama berandal.

Tamat