Aceh,
suatu ketika.
Tengah malam yang sangat dingin. Tak pernah kurasa sedingin ini.
Tidurku pun menjadi tak nyenyak. Kucoba tak membuka mata berharap kantuk datang
menyambangi, tapi ia tak jua bertandang. Lelah aku berusaha untuk tidur,
akhirnya ku berdirikan tubuh dan menyibak kain jendela kamar. Aku terpaku
sekalian terkejut. Apa ini?
Kaca jendela berkabut tebal. Terlihat di baliknya butiran-butiran putih.
Kucoba menyentuh dengan ujung dari. Lengket dan dingin. Perasaanku jadi campur
aduk. Ini sungguh aneh. Aku terpikir sesuatu, tapi rasanya tak mungkin. Aku
tahu betul dimana aku berada. Namun, tak bisa kupungkiri aku berharap bahwa ini
benar-benar terjadi.
Baik, akan kupastikan bahwa aku sedang bermimpi. Plak! Tangan
kananku menyerempet pipiku dengan keras. Sakit sekali! Aku masih tak yakin, kucubit
telapak tanganku. Ah! Ternyata ini benar mimpi, aku tak merasakan sakit. Ugh!
Brrrr! Aku meringgis kedinginan. Kuambil selimut tambahan di samping tempat
tidur. Aku ingin terlelap kembali dan bangun dari mimpi yang sungguh aneh ini.
Pejam mata! Pejam mata! Pejam mata! Batinku seraya memejamkan mata. Entah
berapa lama setelah itu, aku sudah tak tahu lagi apa yang terjadi.
“Kakaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak! Bangun kak! Ada salju!!” Suara
cempreng adikku Rana mengusik tidurku yang lelap. Tentu saja ditambah gedoran
di pintu kamarku. Tambah berisik. Ah! Dia bilang apa barusan. Ada salju, salju
aja kok ribet. Ganggu orang lagi tidur aja.
“Haaah? Salju?”
Entah bagaimana caranya tiba-tiba aku sudah berdiri teras rumah.
Menatap takjub pada halaman rumah yang sudah memutih. Pohon-pohon ditutupi
salju, kolam ikanku sudah beku, Ikannya pasti sudah mati, pikirku. Ayunan
Rana di bawah pohon mangga juga sudah dipenuhi partikel-partikel yang tak lazim
ada di daerah kami itu. Kulihat ke kiri dan kanan rumah. Tetangga-tetanggaku
juga sudah pada keluar. Tak ada seorang pun dari mereka yang berbicara,
semuanya takjub. Semuanya terpaku pada butiran es yang pelan-pelan terjatuh
dari langit. Aku terlalu takjub dan gembira, tanpa sadar kulangkahkan kakiku ke
halaman. Segenggam saljupun kuraih. Kemudian kulempar lagi. Dingin sekali.
Kakiku juga. Ya ampuuun, aku segera berlari kembali ke teras rumah. Ku pandangi
kaki telanjangku, Pucat.
Kurasakan tangan mungil Rana menyentuh pergelanganku.
“Kakak, dingiiin,” katanya sembari giginya bergemeletukan. Ya,
tentu saja ini sangat dingin. Ku arahkan tanganku pada pipinya. Ia menolak.
Tanganku lebih dingin dari pipinya, tentu ia tak mau kusentuh.
“Kakak juga dingin, dek!” kataku sembari berpikir. Ehe! Kumasukkan kedua tanganku ke bawah
ketiak. Lumayan hangat. Rana mengikuti gerakan yang sama. Kemudian dengan
berjalan beriringan, aku masuk rumah dan menuju dapur.
Ibu sedang memanaskan beberapa panci air. Dapur terasa lebih hangat
ketimbang suhu di kamar tamu yang baru saja kulewati. Ibu tak berbicara sepatah
kata pun saat ku memasuki dapur. Biasanya ada saja yang ibu suruh. Suasananya
seakan beku. Rana yang mengikutiku sejak tadi menghampiri kompor, mencoba
menghangatkan sepasang tangannya yang dingin.
“Ibu, kenapa turun salju?” tanyaku pelan. Ibu hanya diam, kenapa
sih?
“Ibu, aku pikir semalam cuma mimpi, udaranya sangat dingin. Aku
terbangun dan melihat jendela, ternyata ber-es. Ibu, padahal kan kita di daerah
tropis, tapi kenapa turun salju?” lanjutku sembari mengulang pertanyaan yang
sama.
“Ibu juga tidak tahu kenapa. Mungkin ini suatu pertanda,” jawab Ibu
pendek. Tangannya beralih membuka kulkas dan mengambil beberapa buah wortel.
Beliau menyodorkannya padaku. Aku mengerti, Ibu ingin membuat sup. Kuraih pisau
di atas meja makan dan mulai memotong wortelnya.
“ Pertanda apa, Bu?” tanyaku lagi,
aku benar-benar penasaran. Niatku tak ingin bertanya lagi. Ah, tapi kepada
siapa lagi aku harus bertanya? Ayah sudah tiada. Sekarang Ibulah
tempatku bertanya segala-galanya.
“Pertanda bahwa dunia mau kiamat,” jawab Ibu lagi. Aku rasa jawaban
Ibu betul. Mana mungkin di daerah tropis begini ada turun salju, kecuali siklus
iklimnya sudah tak beraturan. Dan kalau siklus iklimnya tak beraturan, berarti
bumi sudah rusak, kalau sudah rusak, berarti akan hancur, akan hancur itu
berarti akan kiamat. Masuk akal. Tapi, aku tak mau melihat kiamat.
***
Aku menyukai salju. Aku selalu ingin ke tempat yang ada saljunya.
Jepang misalnya, atau Eropa, atau
negeri antah berantah, yang penting ada saljunya. Aku pikir
begini, kalau ada salju, semua jadi indah. Kita bisa bermain bola salju,
membuat boneka salju, memakai topi rajut, baju tebal. Rasanya pasti
menyenangkan.
Aku bahkan mendoakan daerahku, Aceh,
agar diliputi salju, Sekaaaali saja.
Kini Aceh diliputi salju, di mana-mana
salju. Sesuai keinginanku. Aku sungguh bahagia. Saaaaaaaangat bahagia. Aku
merasa inilah kebahagiaanku yang sebenarnya.
***
Setelah beberapa hari berlangsung dan salju masih juga turun.
Volumenya makin bertambah. Sejak tadi pagi hingga tengah hari, gumpalan air
membeku itu masih saja tumpah dari langit, makin lama, makin banyak saja.
Namun, menjelang sore, saljunya
berhenti. Kugunakan kesempatan ini untuk mengajak Rana jalan-jalan.
Melihat-lihat keadaan di luar rumah sembari menghirup udara sore. Tempat yang
sangat ingin ku kunjungi adalah jembatan Lamnyong. Beberapa kali aku
melewatinya dengan mobil bersama Ibu tak sempat kunikmati keindahan
panoramanya. Kali ini, aku akan menikmatinya sampai puas.
Tentu aku harus minta ijin dulu sama Ibu.
“Ibu, boleh tidak aku keluar jalan-jalan sama Rana ke jembatan
Lamnyong? Saljunya kan sudah berhenti,” pintaku pada Ibu yang sedang membersihkan
salju-salju yang melekat di tali jemuran. Tadi kami habis mencuci. Airnya
sangat dingin, tapi ibu bersikeras mencuci. Tentu saja aku tak membiarkannya
mencuci sendirian. Kami mencuci bersama. Dingin airnya hanya terasa sebentar
rupanya. Setelah itu, seperti biasa lagi.
“Boleh, tapi kamu hati-hati ya? Saljunya licin di jalan. Jangan
lupa pakai jaket dan bawa payung, pakaikan juga jilbab untuk adikmu. Pulangnya
jangan lama-lama ya?” Ibu mengabulkan permintaanku. Horeeee, aku berteriak
dalam hati.
Aku menuntun jalan adikku yang masih berumur tujuh tahun ini dengan
sabar, beberapa kali ia terpelosok dalam gumpalan es tebal yang menutupi parit.
Ahahaha! Ku sibakkan rambut yang keluar dari celah jilbab kecilnya. Duh,
anak kecil ini, membuat lamban perjalanan saja. Berkali-kali ia minta
digendong. Tapi aku tak ingin membuat ia manja, anak kecil seumurannya
sudah terlalu berat untuk digendong.
Akhirnya kami sampai. Rana kududukkan di samping trotoar. Di sana
saljunya sudah mencair dan trotoarnya telah kering. Kendaraan di jalan
hanya ada satu dua. Meskipun begitu, aku berpesan pada Rana agar tak bergerak
ke mana-mana. Sementara aku membelakanginya memandang ke arah sungai Lamnyong mengalir.
Sungainya memutih, begitu juga hilirnya yang kelihatan dari jauh. Rumput-rumput
di samping sungai membeku dalam balutan salju. Pohon arun
yang biasa lincah berayun kesana kemari kini hanya tegak berdiri tanpa
bergerak, seolah tubuhnya dikunci oleh gumpalan salju yang hinggap di pelataran
dahannya. Langit masih mendung, matahari hanya bisa bersinar lemah dibalik
sana. Beberapa hari semenjak turun salju matahari memang tampak kuyu. Tiba-tiba
aku jadi merindukan hari yang terik seperti seminggu yang lalu. Pandanganku
beralih. Di seberang hilir sungai tampak laut. Laut pun memutih, Tak terlihat
gerakan gerakan-gerakan airnya. Sepertinya nelayan tidak ada yang melaut. Aku
mulai kuatir satu hal. Bagaimana dengan persediaan ikannya? Dari mana
orang-orang bisa dapat ikan kalau tidak melaut? Ah, gampang! Impor saja,
batinku.
Selagi asyik-asyiknya menelaah pemandangan yang tampak indah
tersebut. Rana memanggilku.
“Kak! Kak Mae, tengooook! Di sana!” seru Rana. Aku menoleh, telunjuk mungil Rana mengarah pada suatu sudut langit yang gelap. Aku terhenyak, awannya menakutkan sekali. Sejenak aku terpaku beberapa saat. Ini pertanda apa lagi? Ayunan tangan Rana yang menyentuh lututku membuatku sadar. Kami harus segera pergi dari sana. Segera ku raih tangan Rana dan lari. Aku harus pulang, aku harus pulang sekarang juga. Ini pertanda buruk, Ibu benar. Mungkin sebentar lagi akan terjadi kiamat. Tapi aku tak ingin melihat kiamat. Aku sungguh tak ingin.
“Kak! Kak Mae, tengooook! Di sana!” seru Rana. Aku menoleh, telunjuk mungil Rana mengarah pada suatu sudut langit yang gelap. Aku terhenyak, awannya menakutkan sekali. Sejenak aku terpaku beberapa saat. Ini pertanda apa lagi? Ayunan tangan Rana yang menyentuh lututku membuatku sadar. Kami harus segera pergi dari sana. Segera ku raih tangan Rana dan lari. Aku harus pulang, aku harus pulang sekarang juga. Ini pertanda buruk, Ibu benar. Mungkin sebentar lagi akan terjadi kiamat. Tapi aku tak ingin melihat kiamat. Aku sungguh tak ingin.
Rana terengah-engah. Dia meminta untuk berhenti. Tapi aku tak
peduli. Hanya rumah yang kupikirkan. Awan itu semakin berarak mendekat ke
daerah kami. Aku semakin takut.
“Kakak! Adek ngak sanggup lagi,” Rana menjerit lemah. Ketakutanku
bertambah. Orang-orang di sekitar jalan mulai panik, mereka tergesa-gersa
memasukkan barang-barang ke dalam rumah mereka dan menutup pintu. Ku gendong
Rana di punggungku. Awan itu kini membubung di atas kepalaku. Kulihat seorang
ibu melambaikan tangannya ke arahku, menyuruhku berlindung di rumahnya. Segara
kuberlari sekuat mungkin hingga mencapai rumah tersebut. Ibu pemilik rumah cepat-cepat
menutup pintunya.
Ku baringkan Rana di atas sofa di ruang tamu rumah tersebut. Ibu
itu menyuguhkan dua gelas air hangat. Di belakangnya berjalan seorang
kakak-kakak memegang al-Qur’an. Jaman sekarang jarang kulihat ada orang begitu.
Biasanya orang-orang hanya memegang al-Qur’an hanya malam atau hari
Jum’at. Hari dimana orang laki-laki berkumpul dan melakukan shalat berjamaah di
masjid.
Glaaaaaaarrrr! Grrr! Serrrrr! Ctarrrrrrr!
Aku menutup telinga, Suara gemuruh dan halilintar mengoyak seisi
langit dan bumi. Belum pernah seumur hidupku kudengar suara sebesar itu. Aku
memeluk Rana, ia terengah ringan sembari menutup mata. Sepertinya ia kesulitan
bernapas. Ku coba mendudukkan ia, tapi kelihatannya ia terlalu lemah. Maka
kupangku ia di atas kedua pahaku. Kulihat raut wajah Ibu pemilik rumah ini
kelihatan gelisah. Lantas ia menyuruh anak perempuannya menutup seluruh jendela
rapat-rapat dan melepas
gorden yang tersingkap. Di
luar angin bertiup kencang. Riuh dan ribut, di tambah suara gemuruh geledek
yang bertalu-talu tiada berhenti.
Kurasakan pernapasan Rana
mulai membaik. Matanya telah terbuka. Kusodorkan ke mulutnya air hangat yang
disuguhi tadi. Rana meneguk beberapa teguk. Aku sedikit jadi sedikit lega. Tubuh Rana yang tadinya dingin berangsur
menghangat. Aku berdoa dalam hati semoga suhunya tak berubah jadi panas.
Sepertinya di luar sedang badai salju. Kami
semua mendengar suara rintiknya yang bersentuhan dengan atap rumah. Rumah ini
tak berplafon, hanya ada selembar kain terpal yang digelar begitu saja di atas
kepala kami. Aku mulai membayangkan bagaimana jika atapnya terlepas dan
diterbangkan angin. Berbagai pikiran buruk mulai hadir di otakku. Tidak, tidak,
tidak... Rumah ini kelihatan bisa bertahan.
Badai salju diluar masih berlangsung. Aku
menjadi gelisah tak menentu. Dudukku tak tenang, gigiku sesekali menggigiti
kuku yang sengaja kusorong ke mulut. Dingin sekali. Suhunya sangat dingin.
Kupeluk Rana yang sedikit hangat. Semoga badainya cepat usai. Aku tak tahan
lagi, di kepalaku mondar mandir bayangan api unggun yang hangat. Di sini tidak
ada sesuatu pun yang bisa dibakar untuk membuat api unggun. Rumah-rumah disini
tidak ada perapiannya. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk menghangatkan diri
kecuali meringkuk bersama kain.
Lima belas menit kemudian, badai ternyata
mereda. Kami semua, termasuk Rana, keluar dari rumah yang baru saja menjadi
tempat berteduhku itu. Di luar semuanya putih. Tidak ada sesuatu yang terlihat
nyata kecuali hanya gundukan-gundukan besar dan kecil. Semuanya tertimbun
sempurna, hanya pohon yang tidak. Pohon “Asan” yang terlihat hanya
sedikit miring dan ujungnya daun terbawahnya hampir mencium jalan.
Segera aku minta pamit pulang pada ibu yang
punya rumah tadi, juga mengucapkan terima kasih untuknya dan anaknya. Ibu itu
hanya mengangguk dan berpesan supaya aku hati-hati dengan jalanan yang licin
dan supaya aku dan Rana harus segera menghangatkan diri sesampai rumah.
“Ibuuu,” seruku ketika berada di depan
rumahku. Kuketuk pintu sembari menggendong Rana. Kakiku beku, sepatuku penuh
dengan butiran es. Tak ada jawaban, aku mencoba membuka pintu tetapi tidak
bisa.
“Ibuuuu,” seruku sekali lagi. Aku tak tahan
lagi.
“Rana, turun dulu, kakak mau buka pintu,”
kataku pada Rana. Kuletakkan ia di samping pintu.
“Dingin, kak!” serunya. Giginya bergemeletuk.
“Iya, kakak tau, sabar ya?”. Aku memasang
kuda-kuda dan mendobrak pintu depan sekuat tenaga. Dhuaam! Pintunya terbuka dan
memukul dinding di belakangnya.
Suasana rumah sepi. Rana berlari ke dalam.
Mencari Ibu sambil memanggil namanya. Tetap tidak ada balasan.
Kami berdua menuju dapur.
Seakan waktu juga menjadi beku. Ibu tergeletak
kaku di dekat meja makan. Terbaring dengan aliran darah yang telah membeku
bersama salju, di sekeliling kepalanya. Rasanya seluruh persendianku meleleh.
Rana berlari dan menggoyang-goyangkan badan Ibu sambil menangis. Aku pun juga,
tersungkur dan bersimbah air mata. Badai salju telah membawa pergi Ibu. Lama
aku meraung tanpa ada yang datang menolong. Mungkin orang lain pun bernasib
sama. Rana kupeluk erat. Setelah puas menangis, aku baru menyadari ada sebilah
kayu di sampingnya yang terlihat seperti tersangka penghantam Ibu. Baru
kusadari, atap dapur sudah tidak ada. Yang tersisa hanya dinding. Dinding dan
puing-puing peralatan dapur yang seolah menatapku dengan penuh duka.
Dua hari berlalu, Ibu sudah mendapatkan rumah
terakhirnya, perkuburan umum yang dengan susah payah berhasil digali oleh warga
daerah kami. Aku sedang berusaha bangkit dari keterpurukan karena kehilangan
Ibu. Sementara itu, ada kekhawatiran lain yang menghampiri, kesehatan Rana
memburuk. Ia berkali-kali muntah dan mimisan. Aku mencoba mencarikannya dokter,
tetapi keadaan yang bersalju tiada henti menjadi sebab para dokter tidak bisa
kemana-mana. Bahkan sebagian besar dari mereka keluar daerah untuk mencari
tempat yang hangat. Aku hanya mengupayakan Rana tetap hangat, memberinya sisa
obat yang ia minum dua bulan yang lalu dan menyemangatinya bahwa salju ini akan
segera berakhir dan berganti dengan musim semi yang indah, dimana bunga-bunga
yang ia sukai akan tumbuh. Rana sangat menyukai bunga tulip, sejenis bunga yang
jarang ditemukan di daerah kami. Dulu, hanya sekali, aku pernah menemukan perdu
tulip di kedalaman hutan saat kemping akhir tahun. Aku berhasil memotretnya dan
membawa foto tulip indah bersemu pink itu sebagai oleh-oleh untuk Rana. Rana
sedikit terhibur dengan ceritaku tentang musim semi, ia mulai semangat dan
ingin sembuh. Aku merasa sedikit lega, meskipun aku sendiri tidak tahu, apakah
salju ini berakhir atau tidak.
Hari selanjutnya, aku memutuskan untuk pergi
dari Darussalam. Kudengar dari sebagian orang bahwa bagian dekat dengan gunung
api Seulawah mulai hangat. Butuh 2 jam untuk menuju ke sana dengan mobil. Satu-satunya
mobil yang bisa kutumpangi jauhnya sekitar 200 meter dari rumah kami.
Tetanggaku mengatakan bahwa pagi ini mobil itu akan kembali menjemput warga
yang ingin pindah ke daerah hangat.
Aku menggendong tubuh Rana yang lemah tak berdaya.
Kakiku kaku dan keram, namun, sekuat tenaga aku berusaha melangkahkannya. Tidak
jauh lagi, hanya kira-kira 50 meter lagi kami akan bisa berlindung di dalam
mobil pengangkut. Kulihat banyak orang di dalamnya, berdesakan. Aku berusaha
cepat, mungkin masih tersisa tempat untuk dua orang lagi.
Kakiku tak bisa melangkah lagi. Sementara
orang-orang sudah bersahut-sahutan menyuruh mobilnya untuk berjalan.
Kupalingkan wajahku ke belakang. Aku melihat gumpalan awan yang sama seperti 3
hari yang lalu. Hal itu mengejutkanku dan aku berlari. Tapi sebuah batu
membuatku tersungkur. Rana terlempar ke depan. Tubuhnya kaku. Aku merangkak
menghampirinya. Tidak ada waktu lagi, mobil pengangkut sudah bergerak menjauh.
Aku berteriak, tetapi tidak ada yang mendengar. Suara angin dan badai menelan
habis suara yang kukeluarkan.
Kupeluk tubuh Rana. Kupanaskan telapak
tanganku dengan saling menggosok-gosokkan keduanya kemudian menempelnya pada
pipi Rana. Rana tidak bergerak. Aku memeluknya erat. Saat itulah, salju deras
turun menghampiri kami berdua. Begitu deras, hingga menenggelamkan kami. Di
tengah kesadaranku yang telah menipis, aku membatin, aku tidak ingin salju
turun di sini, di Aceh. Aku ingin membatalkan semua mimpiku tentang salju. Ini
semua mimpi, aku berharap ini semua mimpi dan aku ingin terjaga. Aku semakin
kesulitan bernapas dan semuanya menjadi gelap.
***
Hangat dan nyaman. Sebuah sentuhan mendarat di
telapak tanganku. Perlahan aku membuka mata dan melihat sosok Ibu sedang
menatap padaku. Wajahnya begitu berseri-seri.
“Ibu, apa aku sudah mati?” tanyaku bingung.
“Mati? Mae, kamu mimpi apa barusan?” Ibu balik
bertanya padaku. Alisnya berkerut menandakan ketidakmengertian.
“Wajah Ibu begitu bersinar, apa Ibu bahagia di
surga?” tanyaku lagi.
“Ibu baru habis mandi barusan. Kamu ngigo,
ya?” jawab Ibu, tidak nyambung.
Aku terhenyak. Spontan aku melompat ke samping
jendela dan menyibakkan tirainya. Halaman rumahku, kering dan hangat, penuh
sinar matahari. Kemudian aku berbalik, memeluk Ibu. Ibu heran, tetapi ia juga
memelukku. Aku tersenyum lebar penuh syukur di baliknya. Dari celah pintu kamar
kulihat Rana melangkah menuju kami.
Aku bahagia.
Semua itu hanya mimpi.
Darussalam, 27 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Orang bijak tinggalkan jejak :)
Masukan dan kritikan yang baik dan membangun sangat ana harapkan dari Anda. Silakan di koment ^_^