Minggu, 03 Maret 2019

Dia, Suamiku

Maasyaa Allaah... Alhamdulillaah...
Dua kalimah yang tak henti2 terucap saat disahkannya lafaz qabul yang beliau ucapkan. Hatiku tenang hari itu, setenang cuaca cerah di luar masjid Al-Huda tempat kami menikah. Doaku terkabul sudah. Menikah. Dengannya.

Mari kucerita sedikit tentangnya. Sosok laki-laki yang memiliki tekad menghalalkanku, meski ia tahu ia masih kekurangan. Percayalah, sebenarnya beliau jauh dari kriteria yang kutuliskan di buku-buku diari. Tapi tekadnya meluluhkan semua kriteria itu. Ada yang serius ingin menghalalkanku, datang dengan kesederhanaan, tidak menawarkan apa-apa, bekal tekad dan restu orang tua. Aku melihatnya sebagai orang baik, dan hati mengangguk terhadapnya, kupikir, mungkin ini jodoh. Dan alhamdulillah, ternyata benaran jodoh. 

Di hari pertama kali kami berjumpa. Aku memutuskan menerimanya. Dan mulailah kupanjatkan doa baru, semoga ia adalah jodohku. 

Selanjutnya beliau ke rumah, menjumpai orang tuaku. Mengutarakan niatnya, tetapi tak bisa menikah dengan segera. Beliau perlu cari ma'isyah yang lebih untuk bekal berkeluarga. Yaa, aku paham. Aku memilih bersabar. Tapi doaku semakin kugencarkan. Rabbi, sesungguhnya ku tak tahu apa-apa, sedang Engkau Maha Tahu, maka, jika memang beliau yang terbaik untukku, jodohkanlah, namun jika beliau bukan jodohku, pisahkan kami baik-baik, dengan cara yang ma'ruf, sebagaimana Engkau pertemukan kami dengan cara yang ma'ruf.

Hari berlalu, dan proses berlanjut. 26 Agustus 2018, beliau resmi melamar. Kemudian kami menikah pada 15 November, 3 bulan stelah proses lamaran. 

Maasyaa Allaah... Penantian yang luar biasa yang seorang lebay-er sepertiku. Bagaimana malam-malamku sebak menahan rindu tapi hanya mampu menutup mata dan berdoa. Yaa Allah, yang terbaik untukku dan untuknya. 

Bagiku, beliau seutuhnya takdir Tuhan. Bukan pilihanku. Aku tak mau mengakuinya, kapanpun itu bahwa ia pilihanku. Sebab kusadar bahwa aku manusia, pilihan manusia bisa salah, sementara takdir Tuhan tak pernah salah dan tak bisa disalahkan. Maka yang kulihat satu-satunya setelah menikah dengannya adalah, takdir. Bukan kelebihan, ataupun kekurangan. 

Suami, gelar mulia itu akhirnya Allah izinkanku semat padanya. Laki-laki itu. Yang tak pernah kukenal sebelumnya, tak pernah kulihat, kudengar, orang asing, tapi tiba2 menjadi orang yang paling dekat, hingga surgaku telah berpindah padanya. 

Tak henti-hentinya kudoa, semoga takdirku bersamanya hingga syurga, menjadi suami-istri yang bahu membahu dalam kebaikan, selalu Allah hidayahi dengan nur hidayahnya, dan semoga Allah hadiahkan kami anak-anak yang shalih/ah penyejuk mata. Aaamiiin allahumma aaamiiin. 
Mohon aminkan yaa pembacaku... 





Kamis, 14 Februari 2019

Aku Menikah

Assalamualaikum sahabat blogku... Sudah sekian lama tidak posting sesuatu di sini. Banyak kesibukan dan tak menemukan waktu yang tepat alasan paling mendukung, tapi jika boleh jujur, sebenarnya banyak waktu tapi didera kemalasan. Ops! Hehe, biarlah kalian tahu, karena kutahu kalian tak akan meninggalkanku meskipus kalian tahu aku pemalas, kan? (Kok jadi terlalu banyak tahu? :D)

Banyak hal yang ingin kusampaikan kali ini. Sekaligus aku mau launching objek tulisan baru untuk merefresh blog yang sudah nampak kusam ini. Yuuk, apaan itu?

First, aku sudah menikah. Alhamdulillaah. Allah ijinkan aku menjadi seorang istri untuk seorang pemuda bernama Muhammad Ali Akbar. Abang Akbar, aku memanggilnya begitu. Aku menikah 3 bulan yang lalu, 15 November 2018. Sebelum itu sebenarnya ada banyak proses yang kulalui untuk menuju pernikahan. Mulai dari taaruf, jumpa orang tua, lamaran, hingga akhirnya menikah. Tapi aku ga pernah cerita yaa di blog ini, ya? Sengaja kok. Supaya tidak terlalu heboh dan berharap, jadinya diam-diam saja sambil terus berdoa pernikahan ini menjadi kenyataan. Dan akhirnya, Alhamdulillah, telah genap sesuatu yang ganjil dariku, telah purna masa penantian itu, dan kini aku sudah tidak jomblo lagi. Wkwkwkwk... Alhamdulillah tsumma alhamdulillaah...

Lain kali aku akan cerita deh siapa suamiku, dan bagaimana kami bertemu. Insyaa Allaah. Nantikan yaa.

Second... Setelah genap usia pernikahanku 2 bulan, aku lulus tes CPNS di lingkungan Kementerian Agama, formasi guru Bahasa Arab. Maasyaa Allaah. Rahmat dari Allah yang sungguh tak bisa kuukir dengan kata-kata. Sungguh semuanya karena rahmat Allah, tiada daya dan upaya dariku, jika memandang banyaknya orang yang ikut tes untuk formasi yang sama hari itu, sungguh mustahil rasanya untuk lulus. Tapi biiznillah, tahap demi tahap ada namaku di sana. Hingga akhirnya dinyatakan lulus. Maasyaa Allah... Maasyaa Allaah... Maaasyaa Allaah...

Teringat sekali hari itu, saat kukabarkan Ayah mengenai kelulusanku, beliau memelukku erat. Kemudian berbisik di telinga, "Syukurmu harus banyak, nak. Allah berikanmu 2 nikmat besar dalam masa yang hampir bersamaan, jodoh dan pekerjaan. Syukurmu harus banyak. Syukurmu harus banyak," kata Ayah berkali-kali.

Yaa Rabb, kalau dibandingkan dengan kesyukuranku yang masih amat sangat sedikit, rasanya aku kurang pantas. Tapi insyaa Allaaah, akan kutambah lagj hingga semakin banyak dan semakin besar. Yaa Rabb, bantu hamba bersyukur kepadaMu... Aaamiiin...

Third... Menjelang genap 3 bulan pernikahan, aku kembali diberikan rahmat oleh Allah. Aku hamil. Tetapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Kala janinku berusia 2 minggu, aku keguguran. Innalillaah. Masih teringatt bagaimana perihnya saat ia jatuh, dan segera meleleh air mataku mengetahui benar bahwa itu adalah bentuk 'alaqah dari calon bayiku. Subhanallaah...  Berat sekali saat2 pertama kali memgetahui hal itu. Saat tahu bahwa aku hamil, aku kira aku kuat, ternyata aku sangat lemah, maka aku tak bisa mempertahankannya. Rabbiii, tapi kuberusaha buang jauh2 pikiran seperti itu. Jika janinku gugur, berarti sudah Allah takdirkan iya gugur, kuat atau lemahnya diriku tak berpengaruh. Dan jika Allah takdirkan ia bertahan, tentu Allah kan biarkan 'alaqah itu tetap menempel, hingga menjadi mudhgah, dan jadi bayi sempurna. Ini adalah cobaan untukku dan suami. Ini juga bermakna bahwa aku harus lebih banyak belajar dan tidak mengannggap sepele suatu hal, seperti misalnya, jangan sok kuat, sementara ada yang sedang bergantung pada kita. Ada saatnya kita minta bantuan orang lain, tidak semua hal kita lakukan sendiri. Karena kelelahan itu akhirnya memudharatkan tidak hanya satu nyawa, tapi dua.

Sekian ceritaku. Aku harus segera ke kamar kecil. Lain kali kita sambung lagi yaa... 😊😊