Kamis, 16 November 2017

^_^

Saat dua orang sama-sama tahu apa yang mereka rasa, tapi keduanya memilih diam. Sebenarnya masing-masing mereka sedang mendirikan gunung-gunung di dalam dada mereka. Mereka memikulnya kemana-mana. Berat? Pasti. Tapi mereka memilih tetap seperti itu. Karena bersusah-susah bersama gunung-gunung itu, sama halnya dengan jihad. Ada nilainya. Tidak sia-sia.

Maka bersemangatlah. Dan bertahanlah. Ridha itu segera menyusul. Dan gunung itu akan segera terangkat, berganti telaga. Sejuk, suci, jernih dan dalam.

Bersabarlah dengan kesabaraan yang indah.

Rabu, 15 November 2017

Sangat berat untuk tidak menuliskan apa-apa kala suasana hati campur aduk begini. Tapi tetap berusaha husnuzhan. Supaya mood tetap terjaga dan kuat. Kalau tidak demikian, maka mau bagaimana lagi?

Biasanya laptop menjadi pelampiasan sesaat kalau hati lagi tidak pas. Menontonkah, menuliskah, mendengar nasyidkah, atau sekedar membuka foto-foto lama. Biasanya mood akan kembali setelah itu. Tapi, saat ini laptopnya sedang di bengkel. Mungkin dia lelah. Wajar saja, pemakaiannya sudah terlalu over. Terkadang bahkan digunakan buat main game-game besar kayak football manager, Stronghold Crusader, dan Empire. Hehe, tau sendirilah, boys! Maklum, laptop keluarga. Entarlah. Kalau sudah baikan akan diusahakan beli kawannya, supaya ia tidak terlalu lelah lagi.

Masih beruntung, hape saya ternyata bisa digunakan buat update postingan blog. Jadilah. Mosting di blog. Mungkin inilah hikmahnya. Kalau laptopnya baik terus, ga akan bertambah postingan di blog ini. Hehe

Jadi, postingan ini curhat nih ceritanya?
Iya ajalah. Hehe apalagi. Tapi takutnya entar jadi nga bermanfaat. Ga jadi ajalah.

Tapi ada beberapa hal yang saya pelajari akhir-akhir ini :

1. Ilmu itu laksana air. Ia akan turun ke tempat-tempat yang rendah. Maka, ilmu pun demikian. Ia akan masuk dan dan merasuk ke dalam hati-hati yang rendah. Tak ada gunanya menuntut ilmu dengan hati yang tinggi. Ilmu itu akan menguap seiring masa berjalan.

2. Selama ini saya berpikir bahwa merantau itu sebatas tempat. Ternyata tidak, merantau bisa juga dengan intelektual. Caranya, kunjungi perpustakaan, lalu membacalah sebanyak-banyaknya.

3. Think globally, act locally.



Kamis, 09 November 2017

Makna Ketidakmudahan

Ketika sebuah ketidakmudahan muncul di koridor perjalanan hidup, jangan panik dan bersedih. Karena ketidakmudahan itu fitrah. Ketidakmudahan pasti ada. Dan kehadirannya itu sangat patut dimaklumi.

Ketidakmudahan adalah bumbu kehidupan. Kita tidak akan merasai nikmatnya sebuah hasil jika proses berjalan mulus-mulus saja. Ketidakmudahan inilah yang memberi makna lebih bagi sebuah hasil. Tentu saja jika ketidakmudahan ini bisa dilalui dan diatasi dengan baik.

Banyak yang menamakan ketidakmudahan sebagai kesulitan, itu benar. Ada pula yang menyebutnya sebagai tantangan. Itu juga tidak salah. Tapi, dari cara kita menamakannya, ada sense tertentu yang hadir. Sebuah ketidakmudahan apabila disebut sebagai kesulitan, bermakna lebih negatif dari pada disebut sebagai sebuah tantangan. Karena tidak semua orang mengatakan ketidakmudahan sebagai sebuah tantangan. Hanya orang-orang yang penuh semangat, percaya diri, dan optimislah yang menyebut ketidakmudahan ini sebagai tantangan. Begitulah kira-kira menurut pendapat penulis.

Mau tidak mau, sebuah ketidakmudahan harus dihadapi. Dan menghadapi sebuah ketidakmudahan bukan hanya tentang mencari tahu mengapa ketidakmudahan itu terjadi, tetapi juga menemukan solusi. Tidak perlu menyibukkan diri mempertanyakan, "Mengapa begini? Mengapa tidak seperti itu?" Tapi sibuklah bertanya, "Kalau sudah begini, apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya?" Seperti itulah kira-kira.

Bersyukurlah. Karena banyak sekali hikmah yang bisa dipetik dari sebuah ketidakmudahan. Bisa jadi, tanpa ketidakmudahan, tidak ada kemajuan yang berarti, tidak ada perkembangan, kita tidak menjadi lebih dewasa, dan kita tidak akan pernah belajar dari masa lalu.

Maka secara tidak sengaja, benak kita akan menyimpulkan satu hal, bahwa ketidakmudahan itu hakikatnya adalah sarana. Sarana untuk menuju kemajuan dan hasil yang memuaskan.

Wallahu a'lam.

Ini Adalah Proses, Nikmati Saja!

Titik-titik titik-titik
Berpendar cahaya hijau
Lalu merekah sebuah senyuman
Awal dari segalanya


Hati, hati, hati, hati. 
Hati-hati karena jurang
Dan jalanan licin sekali
Sementara pegangan sendiri-sendiri
Berpegang bersama itu nahi

Jalan saja, meski terseok-seok
Jalan sulit begini, ada ujrahnya
Yakin saja, sambil berdoa
Insya Allah akan sampai pada tujuannya

Mudah-mudahan
Sesuai rencana
Aaamiin




Husnuzhan

Sungguh, buruk sangka itu sangat melelahkan. Lelah, tak hanya lelah batiniah, tapi juga lahiriah. Tidakkah kamu mau berhenti berburuk sangka?

Suatu ketika, saat terjadi pertengkaran hebat antara aku dan kakakku. Aku benar-benar merasa bahwa tidak ada gunanya beradu pendapat. Tidak ada gunanya juga mempertahankan pendapat sendiri. Meski maksudnya baik, tapi dampaknya tidak. Jadinya hubungan emosi antara kami berdua tidak baik. Kami yang dulunya tertawa-tawa riang bersama, saling curhat dan menjadi pendengar yang baik untuk satu sama lain, hangat dan akrab, tiba-tiba jadi kaku, saling diam dan tidak berani memulai bicara, dingin dan datar. Sungguh, bagiku inilah penderitaan yang paling berat. Butuh setidaknya paling kurang 2 minggu baru kemudian kondisi stabil kembali. Karena tidak mudah bagi kami untuk menyembuhkan hati masing-masing ketika sudah sama-sama terluka. Mungkin mudah bagiku, aku meminta maaf, sudah itu aku kembali seperti biasa. Tapi tidak dengan kakakku. Ia unik. Tidak mudah baginya mengubah suasana. Butuh waktu. Sekali lagi, butuh waktu. 

Masa tenggang menuju kestabilan emosi kakakku inilah yang paling membuatku menderita. Aku merasa kadang-kadang ingin lenyap saja kemana-mana dan tidak ingin melihat ekspresinya yang datar. Berhari-hari begini, aku lelah. Batinku lelah. Hatiku berontak, muncul argumen dalam benakku, seharusnya ia tidak boleh begitu. Bukankah Rasulullah melarang saling diam-diaman lebih dari tiga hari? Aku yakin ia paham dengan hal ini. Tapi kutahan, kutahan sekuat hati untuk tidak menyampaikannya. Mengadakan protes saat waktu tegang begini sepertinya bak memercikkan minyak tanah ke dalam api. Bisa-bisa konfliknya tambah parah.

Akhirnya, karena sudah terlalu tertekan, aku mencoba mencari cara agar batinku tidak tersiksa. Aku merenung. Mencoba menghitung kesalahanku, mengoreksi dan mengingat-supaya jangan sampai terulang lagi. Tapi mengapa masih saja terasa sempit dadaku. "Mungkin memang aku begini diri, sempit dada" batinku kemudian. Nah, nah. Sudah tahu sempit dada, lantas mau begitu terus? Dan dari sini, pikiranku mulai terbuka. Kalau demikian adanya, maka aku harus melapangkan dada, kan? Lalu, bagaimana dengan sikapnya? Aku juga harus lapang dada. Ia unik. Aku yang harus berlapang dada, menerima sikapnya yang unik dan sabar menunggu proses perubahan hatinya hingga kondusif kembali. Aku tidak boleh memaksa. Aku harus menghargai, ini adalah prosesnya. Dia memang seperti itu dan aku harus lapang dada. Tetapi, jika ia ingin berubah, tentu lebih baik. Tapi tidak untuk memaksanya. 

Lalu aku merasa lega sekali. Lega selega-leganya. 

Bukankah husnuzhan itu lebih baik?

Semoga bermanfaat.