Kamis, 09 November 2017

Husnuzhan

Sungguh, buruk sangka itu sangat melelahkan. Lelah, tak hanya lelah batiniah, tapi juga lahiriah. Tidakkah kamu mau berhenti berburuk sangka?

Suatu ketika, saat terjadi pertengkaran hebat antara aku dan kakakku. Aku benar-benar merasa bahwa tidak ada gunanya beradu pendapat. Tidak ada gunanya juga mempertahankan pendapat sendiri. Meski maksudnya baik, tapi dampaknya tidak. Jadinya hubungan emosi antara kami berdua tidak baik. Kami yang dulunya tertawa-tawa riang bersama, saling curhat dan menjadi pendengar yang baik untuk satu sama lain, hangat dan akrab, tiba-tiba jadi kaku, saling diam dan tidak berani memulai bicara, dingin dan datar. Sungguh, bagiku inilah penderitaan yang paling berat. Butuh setidaknya paling kurang 2 minggu baru kemudian kondisi stabil kembali. Karena tidak mudah bagi kami untuk menyembuhkan hati masing-masing ketika sudah sama-sama terluka. Mungkin mudah bagiku, aku meminta maaf, sudah itu aku kembali seperti biasa. Tapi tidak dengan kakakku. Ia unik. Tidak mudah baginya mengubah suasana. Butuh waktu. Sekali lagi, butuh waktu. 

Masa tenggang menuju kestabilan emosi kakakku inilah yang paling membuatku menderita. Aku merasa kadang-kadang ingin lenyap saja kemana-mana dan tidak ingin melihat ekspresinya yang datar. Berhari-hari begini, aku lelah. Batinku lelah. Hatiku berontak, muncul argumen dalam benakku, seharusnya ia tidak boleh begitu. Bukankah Rasulullah melarang saling diam-diaman lebih dari tiga hari? Aku yakin ia paham dengan hal ini. Tapi kutahan, kutahan sekuat hati untuk tidak menyampaikannya. Mengadakan protes saat waktu tegang begini sepertinya bak memercikkan minyak tanah ke dalam api. Bisa-bisa konfliknya tambah parah.

Akhirnya, karena sudah terlalu tertekan, aku mencoba mencari cara agar batinku tidak tersiksa. Aku merenung. Mencoba menghitung kesalahanku, mengoreksi dan mengingat-supaya jangan sampai terulang lagi. Tapi mengapa masih saja terasa sempit dadaku. "Mungkin memang aku begini diri, sempit dada" batinku kemudian. Nah, nah. Sudah tahu sempit dada, lantas mau begitu terus? Dan dari sini, pikiranku mulai terbuka. Kalau demikian adanya, maka aku harus melapangkan dada, kan? Lalu, bagaimana dengan sikapnya? Aku juga harus lapang dada. Ia unik. Aku yang harus berlapang dada, menerima sikapnya yang unik dan sabar menunggu proses perubahan hatinya hingga kondusif kembali. Aku tidak boleh memaksa. Aku harus menghargai, ini adalah prosesnya. Dia memang seperti itu dan aku harus lapang dada. Tetapi, jika ia ingin berubah, tentu lebih baik. Tapi tidak untuk memaksanya. 

Lalu aku merasa lega sekali. Lega selega-leganya. 

Bukankah husnuzhan itu lebih baik?

Semoga bermanfaat.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Orang bijak tinggalkan jejak :)

Masukan dan kritikan yang baik dan membangun sangat ana harapkan dari Anda. Silakan di koment ^_^