Kamis, 05 Desember 2013

Legenda Paya Ni dan Secuil Cerita Masa Kecil

Apakah teman-teman pernah jalan-jalan ke Kabupaten Bireuen? Jika pernah, pasti teman-teman pernah melewati suatu kecamatan bernama Kuta Blang. Kecamatan ini terdengar asing memang, karena masih baru, hasil pemekaran dari Kecamatan Gandapura. Kalau dari Arah Banda Aceh, kecamatan ini terletak setelah Kecamatan Peusangan dan sebelum Kecamatan Gandapura. Lalu, ada apa ya dengan Kuta Blang? 

Kuta Blang merupakan tempat Ibu saya lahir dan dibesarkan oleh orang tuanya. Nyak Chik, begitu kami memanggil nenek kami dan Pon Nek adalah julukan untuk kakek. Seumur hidup saya belum pernah melihat kakek Pon Nek secara langsung dan seumur hidup pula saya tak pernah merasakan dimanja oleh seorang nenek. Nyak Chik telah renta saat saya beranjak kanak-kanak dan berselang beberapa tahun kemudian beliau menghadap Sang Khaliq. Beliau satu-satunya orang tua dari orang tua saya yang sempat saya lihat wajahnya. Sementara kakek-nenek yang lain, sudah lebih dulu dipanggil olehNya. Terkadang kangen dan terbayang sembari menebak-nebak bagaimana wajah mereka, lalu saya menyerah dan berdoa dalam hati, semoga suatu hari nanti setelah hisab, mereka akan menyapa saya dan berkata," Surprise, cucuku Bara-ah! Ini kami kakek nenekmu yang selalu kamu kangenin." Aaaaaaaaamiiiiiin 1000x1000 kali. 


Baik, kembali lagi. Jadi kan, semasa saya kecil, saya sering bermain ke Kuta Blang. Saya suka sekali, karena struktur tanah di daerah ini berpasir, saya bisa bermain pasir sepuasnya, dari membentuk berbagai gunung-gunungan di halaman hingga menjadikannya sebagai makanan utama di acara rumah-rumahan. Bunga-bunga menjadi lauk dan sayurnya. Ahahaha, menyenangkan sekali waktu itu. Tapi, di balik itu semua, ada satu hal yang sangat saya ingin lakukan di sana yang belum terwujud hingga sekarang. 

Apa itu?

Ada sebuah payau di pinggir desa kelahiran Ibu. Namanya Paya Ni. Paya bermakna payau dan Ni adalah nama orang perempuan. Ada sebuah cerita menarik yang tersebar melalui mulut ke mulut tentang bagaimana asal mula payau ini ada. Cerita ini telah melegenda. Jika teman-teman berkunjung ke Kuta Blang, tanyakan bagaimana kisah Paya Ni ini pada orang-orang di sana, pasti mereka tahu. 

Tapi, bolehlah saya cerita sedikit, karena memang saya sedikit tahu tentang legenda ini. Sebenarnya dulu Pon Wa (abangnya Ibu) pernah bercerita lengkap tentang legenda ini, tapi saya saat itu masih belum cukup umur untuk merekamnya sejernih HD, jadinya, mohon maaf jika nanti cerita saya rada-rada kabur. 

Alkisah, pada zaman dahulu di daerah Kuta Blang, hiduplah sepasang suami istri yang telah lama menikah namun belum mempunyai anak. Siang malam mereka berdoa dan berusaha supaya mereka bisa mendapatkan keturunan, tetapi sang anak tak jua kunjung datang. Hingga suatu hari mereka berdua bernazar, Yaa Tuhanku, jika Engkau berikan kami keturunan, maka tak akan kami biarkan kulitnya menyentuh tanah sebelum ia menikah. 

Tak berapa lama setelah itu, si istri mengandung. Setelah genap bulannya, lahirlah seorang bayi perempuan mungil nan cantik dan diberi nama Nyak Ni. Sesuai dengan janji mereka kepada Tuhan, Nyak Ni tidak dibolehkan memijakkan kaki di tanah hingga ia menikah, maka orang tuanya membuat rumah panggung supaya Nyak Ni kecil tidak bisa menjangkau tanah. Dengan begitu, Nyak Ni hanya bermain di rumah setiap hari dan ia tidak punya teman selain ternak-ternak ayam dan bebek yang hanya bisa ia lihat melalui pintu dan jendela. 
Nyak Ni bertumbuh menjadi remaja. Orang tuanya sudah memberi tahu alasan kenapa ia selalu harus di dalam rumah. Mereka berpesan supaya Nyak Ni memegang erat pesan mereka untuk tidak turun dari rumah panggung mereka yang sederhana sampai ia menikah nanti.

Hingga akhirnya tiba saatnya Nyak Ni menikah. Orang tuanya menjodohkannya dengan perjaka kampung sebelah yang bisa diharapkan. Mereka lalu berencana membuat pesta besar dengan mengundang seluruh kerabat dan warga kampung sebelah. Dan mereka menyiapkan segala macam keperluan, pecah belah, makanan, dan beras. 

Sudah menjadi kebiasaan orang Aceh, bahwa menjemur padi sebelum menumbuknya menjadi beras adalah suatu keharusan. Begitu pula dengan orang tua Nyak Ni. Di suatu hari yang cerah, ibu bapak Nyak Ni menjemur padi yang cukup banyak di halaman rumah. Namun tiba-tiba saat tengah hari, mereka berdua harus pergi untuk suatu keperluan. Maka tinggallah Nyak Ni sendirian di rumah beserta padi yang sedang dijemur. Orang tuanya berpesan untuk menjaga padi tersebut dari ayam-ayam dan bebek rakus yang mereka punya. Sebagai alat pengusir, orang tua Nyak Ni meletakkan sebatang galah panjang yang di senderkan pangkalnya di pintu rumah. 

Nyak Ni mengikuti pesan orang tuanya, ia menjaga padi dengan baik. Namun, beberapa saat kemudian, datanglah segerombol besar ternak ayam dan bebek berebut menikmati lautan biji berwarna emas yang sedang dijemur itu. Nyak Ni mengayunkan galahnya namun ternak itu tidak berpindah. Mereka terus menerus memakan biji-bijian tersebut. Nyak Ni panik, ia tidak tahu harus bagaimana. Lalu ia ke dapur mengambil seseuatu yang bisa dilemparkan untuk mengusir ayam-ayam itu. Piring-piring dan pecah belah yang ada semua ia lemparkan tapi hewan itu tak jua pindah tempat. Sementara padi semakin sedikit, Nyak Ni semakin panik sehingga lupa akan pesan orang tuanya. Ia turun dari rumah. Memijakkan kakinya di tanah untuk pertama kalinya, mengusir ayam-ayam itu. 

Ctarrrrr! Ctarrrrrr! Ctarrrr!
Siang yang cerah tiba-tiba diwarnai halilintar. Seketika itu juga langit berubah menjadi gelap dan hujan turun deras. Tanah yang dipijak oleh Nyak Ni tiba-tiba lembek dan berair dan semakin tinggi airnya. Nyak Ni tak bisa bergerak. Ia hendak berlari menggapai rumah namun tak sampai. Sementara air semakin tinggi dan tinggi. Nyak Ni tenggelam di dalamnya, bersama rumahnya juga. Saat orang tuanya pulang, mereka tidak bisa menemukan apa-apa kecuali hamparan air yang dalam. Nyak ni telah gagal  melaksanakan pesan orang tuanya. Semuanya kini tanpa sisa, yang tinggal hanyalah genangan air yang dalam sedalam duka kedua orang tuanya. Oleh sebab itu payau itu dinamakan Paya Ni . The End.

Jadi, apa hubungannya dengan keinginan saya yang belum terealisasikan? 
Jadi begini, dulu saya sering pergi melihat-lihat Paya Ni, dan sungguh indah. Payaunya luas dan terlihat dangkal karena gambutnya tebalnya yang ditumbuhi spesies rumput yang bisa dianyam jadi tikar (ngom). Padahal sebenarnya payau itu dalam, namun belum ada orang yang mengukur kedalamannya. Di tepi-tepi payau tumbuh sejenis teratai warna warni yang harum beserta eceng gondok, juga bunga Ceurih yang paling saya sukai. Bunga Ceurih sejenis bunga talas yang hidup di payau, warnanya putih, berkelopak-kelopak, dan ukurannya itu loo, besar. Diameternya bisa sampai 15 cm. Di sisi payau sebelah sana ada bukit hijau yang indah. Nah, keinginan saya adalah pergi ke sana. Tapi saya rasa mustahil. Paya Ni memisahkan aku dengan bukit itu dan aku tidak pernah berniat untuk naik perahu/boat. Ngeri. 

Begitulah, sedikit catatan masa kecil dan legenda yang biasa saya dengar. Semoga terhibur yaa, syukur-syukur bisa bermanfaat. :)

13 komentar:

  1. Wah, baru tau saya ada legenda ini. makasih sudah menuliskannya ya Khairul ;)

    BalasHapus
  2. Sama-sama kak Fardelyn... :)
    makasih juga krna kk udah menyemangatii... :)

    BalasHapus
  3. Makanya di Bireuen ada daerah namanya Ceurih,,, ups salah, Cureh :D

    BalasHapus
  4. wah...saya pernah setahun di bireuen n 4 bukan di gandapura. tapi ga tau kalo ada tempat paya ni. kalau tau pasti kesana. nice sharing dek. salam
    www.liza-fathia.com

    BalasHapus
  5. Nah, kalau Cureh saya angkat tangan bg Azhar Ilyas, belum pernah dengar, soalnya saya bukan asli dari Bireuen... hehe, hanya ibu saya saja... :D

    @kak liza, memang tempatnya itu bukan untuk dikunjungi kak, jadi tidak terekpos oleh media apapun... hehe

    BalasHapus
  6. paya ni. tempat yang paling saya sukai. terletak tidak jauh dari rumah saya. 10 menit jalan kaki sudah sampai. suasananya sangat indah ketika masih pagi. sering saya kesana pada pukul 6 pagi dan 6 sore. kalo siang2 katanya gak boleh kesana. kenapa? saya pun tak tahu. pokoknya paya ni is kerennn :)

    BalasHapus
  7. :)
    mestilah kereen... :D

    mungkin gk baik dek kesitu siang2, ntar terbakar matahari jadi item pula kulit kita... hehe, analisis yang dangkal bgt... hehe

    BalasHapus
  8. Sekarang udah sngat bangus payani banyak orang skarang dduk di payani

    BalasHapus
  9. Saya bukan orang bireun tapi beberapa kali pernah beberapa kali dari b.aceh ke medan. Saya ada melihat sebuah paya yang mirip danau di tepi jalan b.aceh-medan. apa itu paya nie?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya bukan... Paya Nie tidak nampak dilihat dari jalan raya B. Aceh-Medan...

      Hapus
  10. Iya betul sekali bg, saya juga ada di ceritakan oleh ibu saya tentang legenga itu. Lagi pula saya juga termasuk orang asli kutablang bireuen . hhehe
    Izin share bg

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir... Hehe... panggil saja Kak... Saya perempuan kok :)

      Hapus

Orang bijak tinggalkan jejak :)

Masukan dan kritikan yang baik dan membangun sangat ana harapkan dari Anda. Silakan di koment ^_^