Rabu, 28 Desember 2016

Winter In Aceh



Aceh, suatu ketika.
Tengah malam yang sangat dingin. Tak pernah kurasa sedingin ini. Tidurku pun menjadi tak nyenyak. Kucoba tak membuka mata berharap kantuk datang menyambangi, tapi ia tak jua bertandang. Lelah aku berusaha untuk tidur, akhirnya ku berdirikan tubuh dan menyibak kain jendela kamar. Aku terpaku sekalian terkejut. Apa ini?
Kaca jendela berkabut tebal. Terlihat di baliknya butiran-butiran putih. Kucoba menyentuh dengan ujung dari. Lengket dan dingin. Perasaanku jadi campur aduk. Ini sungguh aneh. Aku terpikir sesuatu, tapi rasanya tak mungkin. Aku tahu betul dimana aku berada. Namun, tak bisa kupungkiri aku berharap bahwa ini benar-benar terjadi.

Baik, akan kupastikan bahwa aku sedang bermimpi. Plak! Tangan kananku menyerempet pipiku dengan keras. Sakit sekali! Aku masih tak yakin, kucubit telapak tanganku. Ah! Ternyata ini benar mimpi, aku tak merasakan sakit. Ugh! Brrrr! Aku meringgis kedinginan. Kuambil selimut tambahan di samping tempat tidur. Aku ingin terlelap kembali dan bangun dari mimpi yang sungguh aneh ini. Pejam mata! Pejam mata! Pejam mata! Batinku seraya memejamkan mata. Entah berapa lama setelah itu, aku sudah tak tahu lagi apa yang terjadi.
“Kakaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak! Bangun kak! Ada salju!!” Suara cempreng adikku Rana mengusik tidurku yang lelap. Tentu saja ditambah gedoran di pintu kamarku. Tambah berisik. Ah! Dia bilang apa barusan. Ada salju, salju aja kok ribet. Ganggu orang lagi tidur aja.
“Haaah? Salju?”
Entah bagaimana caranya tiba-tiba aku sudah berdiri teras rumah. Menatap takjub pada halaman rumah yang sudah memutih. Pohon-pohon ditutupi salju, kolam ikanku sudah beku, Ikannya pasti sudah mati, pikirku. Ayunan Rana di bawah pohon mangga juga sudah dipenuhi partikel-partikel yang tak lazim ada di daerah kami itu. Kulihat ke kiri dan kanan rumah. Tetangga-tetanggaku juga sudah pada keluar. Tak ada seorang pun dari mereka yang berbicara, semuanya takjub. Semuanya terpaku pada butiran es yang pelan-pelan terjatuh dari langit. Aku terlalu takjub dan gembira, tanpa sadar kulangkahkan kakiku ke halaman. Segenggam saljupun kuraih. Kemudian kulempar lagi. Dingin sekali. Kakiku juga. Ya ampuuun, aku segera berlari kembali ke teras rumah. Ku pandangi kaki telanjangku, Pucat.
Kurasakan tangan mungil Rana menyentuh pergelanganku.
“Kakak, dingiiin,” katanya sembari giginya bergemeletukan. Ya, tentu saja ini sangat dingin. Ku arahkan tanganku pada pipinya. Ia menolak. Tanganku lebih dingin dari pipinya, tentu ia tak mau kusentuh.
“Kakak juga dingin, dek!” kataku sembari berpikir.  Ehe! Kumasukkan kedua tanganku ke bawah ketiak. Lumayan hangat. Rana mengikuti gerakan yang sama. Kemudian dengan berjalan beriringan, aku masuk rumah dan menuju dapur.
Ibu sedang memanaskan beberapa panci air. Dapur terasa lebih hangat ketimbang suhu di kamar tamu yang baru saja kulewati. Ibu tak berbicara sepatah kata pun saat ku memasuki dapur. Biasanya ada saja yang ibu suruh. Suasananya seakan beku. Rana yang mengikutiku sejak tadi menghampiri kompor, mencoba menghangatkan sepasang tangannya yang dingin.
“Ibu, kenapa turun salju?” tanyaku pelan. Ibu hanya diam, kenapa sih?
“Ibu, aku pikir semalam cuma mimpi, udaranya sangat dingin. Aku terbangun dan melihat jendela, ternyata ber-es. Ibu, padahal kan kita di daerah tropis, tapi kenapa turun salju?” lanjutku sembari mengulang pertanyaan yang sama.
“Ibu juga tidak tahu kenapa. Mungkin ini suatu pertanda,” jawab Ibu pendek. Tangannya beralih membuka kulkas dan mengambil beberapa buah wortel. Beliau menyodorkannya padaku. Aku mengerti, Ibu ingin membuat sup. Kuraih pisau di atas meja makan dan mulai memotong wortelnya.
“ Pertanda apa, Bu?” tanyaku lagi, aku benar-benar penasaran. Niatku tak ingin bertanya lagi. Ah, tapi kepada siapa lagi aku harus bertanya? Ayah sudah tiada. Sekarang Ibulah tempatku bertanya segala-galanya.
“Pertanda bahwa dunia mau kiamat,” jawab Ibu lagi. Aku rasa jawaban Ibu betul. Mana mungkin di daerah tropis begini ada turun salju, kecuali siklus iklimnya sudah tak beraturan. Dan kalau siklus iklimnya tak beraturan, berarti bumi sudah rusak, kalau sudah rusak, berarti akan hancur, akan hancur itu berarti akan kiamat. Masuk akal. Tapi, aku tak mau melihat kiamat.
***
Aku menyukai salju. Aku selalu ingin ke tempat yang ada saljunya. Jepang misalnya, atau Eropa, atau negeri antah berantah, yang penting ada saljunya. Aku pikir begini, kalau ada salju, semua jadi indah. Kita bisa bermain bola salju, membuat boneka salju, memakai topi rajut, baju tebal. Rasanya pasti menyenangkan.
Aku bahkan mendoakan daerahku, Aceh, agar diliputi salju, Sekaaaali saja.
Kini Aceh diliputi salju, di mana-mana salju. Sesuai keinginanku. Aku sungguh bahagia. Saaaaaaaangat bahagia. Aku merasa inilah kebahagiaanku yang sebenarnya.
***
Setelah beberapa hari berlangsung dan salju masih juga turun. Volumenya makin bertambah. Sejak tadi pagi hingga tengah hari, gumpalan air membeku itu masih saja tumpah dari langit, makin lama, makin banyak saja. Namun, menjelang sore, saljunya berhenti. Kugunakan kesempatan ini untuk mengajak Rana jalan-jalan. Melihat-lihat keadaan di luar rumah sembari menghirup udara sore. Tempat yang sangat ingin ku kunjungi adalah jembatan Lamnyong. Beberapa kali aku melewatinya dengan mobil bersama Ibu tak sempat kunikmati keindahan panoramanya. Kali ini, aku akan menikmatinya sampai puas.
Tentu aku harus minta ijin dulu sama Ibu.
“Ibu, boleh tidak aku keluar jalan-jalan sama Rana ke jembatan Lamnyong? Saljunya kan sudah berhenti,” pintaku pada Ibu yang sedang membersihkan salju-salju yang melekat di tali jemuran. Tadi kami habis mencuci. Airnya sangat dingin, tapi ibu bersikeras mencuci. Tentu saja aku tak membiarkannya mencuci sendirian. Kami mencuci bersama. Dingin airnya hanya terasa sebentar rupanya. Setelah itu, seperti biasa lagi.
“Boleh, tapi kamu hati-hati ya? Saljunya licin di jalan. Jangan lupa pakai jaket dan bawa payung, pakaikan juga jilbab untuk adikmu. Pulangnya jangan lama-lama ya?” Ibu mengabulkan permintaanku. Horeeee, aku berteriak dalam hati.
Aku menuntun jalan adikku yang masih berumur tujuh tahun ini dengan sabar, beberapa kali ia terpelosok dalam gumpalan es tebal yang menutupi parit. Ahahaha! Ku sibakkan rambut yang keluar dari celah jilbab kecilnya. Duh, anak kecil ini, membuat lamban perjalanan saja. Berkali-kali ia minta digendong. Tapi aku tak ingin membuat ia manja, anak kecil seumurannya sudah terlalu berat untuk digendong.
Akhirnya kami sampai. Rana kududukkan di samping trotoar. Di sana saljunya sudah mencair dan trotoarnya telah kering. Kendaraan di jalan hanya ada satu dua. Meskipun begitu, aku berpesan pada Rana agar tak bergerak ke mana-mana. Sementara aku membelakanginya memandang ke arah sungai Lamnyong mengalir. Sungainya memutih, begitu juga hilirnya yang kelihatan dari jauh. Rumput-rumput di samping sungai membeku dalam balutan salju. Pohon arun yang biasa lincah berayun kesana kemari kini hanya tegak berdiri tanpa bergerak, seolah tubuhnya dikunci oleh gumpalan salju yang hinggap di pelataran dahannya. Langit masih mendung, matahari hanya bisa bersinar lemah dibalik sana. Beberapa hari semenjak turun salju matahari memang tampak kuyu. Tiba-tiba aku jadi merindukan hari yang terik seperti seminggu yang lalu. Pandanganku beralih. Di seberang hilir sungai tampak laut. Laut pun memutih, Tak terlihat gerakan gerakan-gerakan airnya. Sepertinya nelayan tidak ada yang melaut. Aku mulai kuatir satu hal. Bagaimana dengan persediaan ikannya? Dari mana orang-orang bisa dapat ikan kalau tidak melaut? Ah, gampang! Impor saja, batinku.
Selagi asyik-asyiknya menelaah pemandangan yang tampak indah tersebut. Rana memanggilku.
            “Kak! Kak Mae, tengooook! Di
sana!” seru Rana. Aku menoleh, telunjuk mungil Rana mengarah pada suatu sudut langit yang gelap. Aku terhenyak, awannya menakutkan sekali. Sejenak aku terpaku beberapa saat. Ini pertanda apa lagi? Ayunan tangan Rana yang menyentuh lututku membuatku sadar. Kami harus segera pergi dari sana.  Segera ku raih tangan Rana dan lari. Aku harus pulang, aku harus pulang sekarang juga. Ini pertanda buruk, Ibu benar. Mungkin sebentar lagi akan terjadi kiamat. Tapi aku tak ingin melihat kiamat. Aku sungguh tak ingin.
Rana terengah-engah. Dia meminta untuk berhenti. Tapi aku tak peduli. Hanya rumah yang kupikirkan. Awan itu semakin berarak mendekat ke daerah kami. Aku semakin takut.
“Kakak! Adek ngak sanggup lagi,” Rana menjerit lemah. Ketakutanku bertambah. Orang-orang di sekitar jalan mulai panik, mereka tergesa-gersa memasukkan barang-barang ke dalam rumah mereka dan menutup pintu. Ku gendong Rana di punggungku. Awan itu kini membubung di atas kepalaku. Kulihat seorang ibu melambaikan tangannya ke arahku, menyuruhku berlindung di rumahnya. Segara kuberlari sekuat mungkin hingga mencapai  rumah tersebut. Ibu pemilik rumah cepat-cepat menutup pintunya.
Ku baringkan Rana di atas sofa di ruang tamu rumah tersebut. Ibu itu menyuguhkan dua gelas air hangat. Di belakangnya berjalan seorang kakak-kakak memegang al-Qur’an. Jaman sekarang jarang kulihat ada orang begitu. Biasanya orang-orang hanya memegang al-Qur’an hanya malam atau hari Jum’at. Hari dimana orang laki-laki berkumpul dan melakukan shalat berjamaah di masjid.
Glaaaaaaarrrr! Grrr! Serrrrr! Ctarrrrrrr!
Aku menutup telinga, Suara gemuruh dan halilintar mengoyak seisi langit dan bumi. Belum pernah seumur hidupku kudengar suara sebesar itu. Aku memeluk Rana, ia terengah ringan sembari menutup mata. Sepertinya ia kesulitan bernapas. Ku coba mendudukkan ia, tapi kelihatannya ia terlalu lemah. Maka kupangku ia di atas kedua pahaku. Kulihat raut wajah Ibu pemilik rumah ini kelihatan gelisah. Lantas ia menyuruh anak perempuannya menutup seluruh jendela rapat-rapat dan melepas gorden yang tersingkap. Di luar angin bertiup kencang. Riuh dan ribut, di tambah suara gemuruh geledek yang bertalu-talu tiada berhenti.
Kurasakan pernapasan Rana mulai membaik. Matanya telah terbuka. Kusodorkan ke mulutnya air hangat yang disuguhi tadi. Rana meneguk beberapa teguk. Aku sedikit jadi sedikit lega. Tubuh Rana yang tadinya dingin berangsur menghangat. Aku berdoa dalam hati semoga suhunya tak berubah jadi panas.
Sepertinya di luar sedang badai salju. Kami semua mendengar suara rintiknya yang bersentuhan dengan atap rumah. Rumah ini tak berplafon, hanya ada selembar kain terpal yang digelar begitu saja di atas kepala kami. Aku mulai membayangkan bagaimana jika atapnya terlepas dan diterbangkan angin. Berbagai pikiran buruk mulai hadir di otakku. Tidak, tidak, tidak... Rumah ini kelihatan bisa bertahan.
Badai salju diluar masih berlangsung. Aku menjadi gelisah tak menentu. Dudukku tak tenang, gigiku sesekali menggigiti kuku yang sengaja kusorong ke mulut. Dingin sekali. Suhunya sangat dingin. Kupeluk Rana yang sedikit hangat. Semoga badainya cepat usai. Aku tak tahan lagi, di kepalaku mondar mandir bayangan api unggun yang hangat. Di sini tidak ada sesuatu pun yang bisa dibakar untuk membuat api unggun. Rumah-rumah disini tidak ada perapiannya. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk menghangatkan diri kecuali meringkuk bersama kain.
Lima belas menit kemudian, badai ternyata mereda. Kami semua, termasuk Rana, keluar dari rumah yang baru saja menjadi tempat berteduhku itu. Di luar semuanya putih. Tidak ada sesuatu yang terlihat nyata kecuali hanya gundukan-gundukan besar dan kecil. Semuanya tertimbun sempurna, hanya pohon yang tidak. Pohon “Asan” yang terlihat hanya sedikit miring dan ujungnya daun terbawahnya hampir mencium jalan.
Segera aku minta pamit pulang pada ibu yang punya rumah tadi, juga mengucapkan terima kasih untuknya dan anaknya. Ibu itu hanya mengangguk dan berpesan supaya aku hati-hati dengan jalanan yang licin dan supaya aku dan Rana harus segera menghangatkan diri sesampai rumah.
“Ibuuu,” seruku ketika berada di depan rumahku. Kuketuk pintu sembari menggendong Rana. Kakiku beku, sepatuku penuh dengan butiran es. Tak ada jawaban, aku mencoba membuka pintu tetapi tidak bisa.
“Ibuuuu,” seruku sekali lagi. Aku tak tahan lagi.
“Rana, turun dulu, kakak mau buka pintu,” kataku pada Rana. Kuletakkan ia di samping pintu.
“Dingin, kak!” serunya. Giginya bergemeletuk.
“Iya, kakak tau, sabar ya?”. Aku memasang kuda-kuda dan mendobrak pintu depan sekuat tenaga. Dhuaam! Pintunya terbuka dan memukul dinding di belakangnya.
Suasana rumah sepi. Rana berlari ke dalam. Mencari Ibu sambil memanggil namanya. Tetap tidak ada balasan.
Kami berdua menuju dapur.
Seakan waktu juga menjadi beku. Ibu tergeletak kaku di dekat meja makan. Terbaring dengan aliran darah yang telah membeku bersama salju, di sekeliling kepalanya. Rasanya seluruh persendianku meleleh. Rana berlari dan menggoyang-goyangkan badan Ibu sambil menangis. Aku pun juga, tersungkur dan bersimbah air mata. Badai salju telah membawa pergi Ibu. Lama aku meraung tanpa ada yang datang menolong. Mungkin orang lain pun bernasib sama. Rana kupeluk erat. Setelah puas menangis, aku baru menyadari ada sebilah kayu di sampingnya yang terlihat seperti tersangka penghantam Ibu. Baru kusadari, atap dapur sudah tidak ada. Yang tersisa hanya dinding. Dinding dan puing-puing peralatan dapur yang seolah menatapku dengan penuh duka.
Dua hari berlalu, Ibu sudah mendapatkan rumah terakhirnya, perkuburan umum yang dengan susah payah berhasil digali oleh warga daerah kami. Aku sedang berusaha bangkit dari keterpurukan karena kehilangan Ibu. Sementara itu, ada kekhawatiran lain yang menghampiri, kesehatan Rana memburuk. Ia berkali-kali muntah dan mimisan. Aku mencoba mencarikannya dokter, tetapi keadaan yang bersalju tiada henti menjadi sebab para dokter tidak bisa kemana-mana. Bahkan sebagian besar dari mereka keluar daerah untuk mencari tempat yang hangat. Aku hanya mengupayakan Rana tetap hangat, memberinya sisa obat yang ia minum dua bulan yang lalu dan menyemangatinya bahwa salju ini akan segera berakhir dan berganti dengan musim semi yang indah, dimana bunga-bunga yang ia sukai akan tumbuh. Rana sangat menyukai bunga tulip, sejenis bunga yang jarang ditemukan di daerah kami. Dulu, hanya sekali, aku pernah menemukan perdu tulip di kedalaman hutan saat kemping akhir tahun. Aku berhasil memotretnya dan membawa foto tulip indah bersemu pink itu sebagai oleh-oleh untuk Rana. Rana sedikit terhibur dengan ceritaku tentang musim semi, ia mulai semangat dan ingin sembuh. Aku merasa sedikit lega, meskipun aku sendiri tidak tahu, apakah salju ini berakhir atau tidak.
Hari selanjutnya, aku memutuskan untuk pergi dari Darussalam. Kudengar dari sebagian orang bahwa bagian dekat dengan gunung api Seulawah mulai hangat. Butuh 2 jam untuk menuju ke sana dengan mobil. Satu-satunya mobil yang bisa kutumpangi jauhnya sekitar 200 meter dari rumah kami. Tetanggaku mengatakan bahwa pagi ini mobil itu akan kembali menjemput warga yang ingin pindah ke daerah hangat.
Aku menggendong tubuh Rana yang lemah tak berdaya. Kakiku kaku dan keram, namun, sekuat tenaga aku berusaha melangkahkannya. Tidak jauh lagi, hanya kira-kira 50 meter lagi kami akan bisa berlindung di dalam mobil pengangkut. Kulihat banyak orang di dalamnya, berdesakan. Aku berusaha cepat, mungkin masih tersisa tempat untuk dua orang lagi.
Kakiku tak bisa melangkah lagi. Sementara orang-orang sudah bersahut-sahutan menyuruh mobilnya untuk berjalan. Kupalingkan wajahku ke belakang. Aku melihat gumpalan awan yang sama seperti 3 hari yang lalu. Hal itu mengejutkanku dan aku berlari. Tapi sebuah batu membuatku tersungkur. Rana terlempar ke depan. Tubuhnya kaku. Aku merangkak menghampirinya. Tidak ada waktu lagi, mobil pengangkut sudah bergerak menjauh. Aku berteriak, tetapi tidak ada yang mendengar. Suara angin dan badai menelan habis suara yang kukeluarkan.
Kupeluk tubuh Rana. Kupanaskan telapak tanganku dengan saling menggosok-gosokkan keduanya kemudian menempelnya pada pipi Rana. Rana tidak bergerak. Aku memeluknya erat. Saat itulah, salju deras turun menghampiri kami berdua. Begitu deras, hingga menenggelamkan kami. Di tengah kesadaranku yang telah menipis, aku membatin, aku tidak ingin salju turun di sini, di Aceh. Aku ingin membatalkan semua mimpiku tentang salju. Ini semua mimpi, aku berharap ini semua mimpi dan aku ingin terjaga. Aku semakin kesulitan bernapas dan semuanya menjadi gelap.
***
Hangat dan nyaman. Sebuah sentuhan mendarat di telapak tanganku. Perlahan aku membuka mata dan melihat sosok Ibu sedang menatap padaku. Wajahnya begitu berseri-seri.
“Ibu, apa aku sudah mati?” tanyaku bingung.
“Mati? Mae, kamu mimpi apa barusan?” Ibu balik bertanya padaku. Alisnya berkerut menandakan ketidakmengertian.
“Wajah Ibu begitu bersinar, apa Ibu bahagia di surga?” tanyaku lagi.
“Ibu baru habis mandi barusan. Kamu ngigo, ya?” jawab Ibu, tidak nyambung.
Aku terhenyak. Spontan aku melompat ke samping jendela dan menyibakkan tirainya. Halaman rumahku, kering dan hangat, penuh sinar matahari. Kemudian aku berbalik, memeluk Ibu. Ibu heran, tetapi ia juga memelukku. Aku tersenyum lebar penuh syukur di baliknya. Dari celah pintu kamar kulihat Rana melangkah menuju kami.
Aku bahagia.
Semua itu hanya mimpi.


Darussalam, 27 Maret 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Orang bijak tinggalkan jejak :)

Masukan dan kritikan yang baik dan membangun sangat ana harapkan dari Anda. Silakan di koment ^_^