(Pernah Dimuat di Majalah Sekolah "GMM" MAN Model Banda Aceh)
“Mak, harga
beras naik lagi, ka limong blah ribee”,kataku
pada Mak sepulang dari pasar. Kuletakkan barang-barang belanjaan di atas meja
dapur. Mak menoleh sebentar kearahku,kemudian kembali menggiling asam u.
“Semua barang
pada mahal sekarang. Allah hai Poe. Breuh
ka di ek yum jeut keu limong blah ribee, eungkoh jak u blang manteng golom
di ek, boh pat ta cok tsen?”, kata Mak
kemudian. Asam u yang sudah di
gilingnya di letakkan dalam piring kecil dan di taruh dibawah tudung saji.
Aku
hanya diam mendengar perkataan Mak. Ini bukan pertama kalinya Mak komplain
masalah kenaikan harga kebutuhan. Aku bahkan tidak sanggup menghitung sudah
berapa kali. Mak juga tak pernah sekalipun merasa lega kalau harga kebutuhan
turun. Mak hanya berkata pendek setiap kukatakan harga beras turun.
“Dua uroe treuk ka di ek loem”.
Untuk kesekian kalinya jawaban Mak benar.
Beberapa hari kemudian harga beras naik lagi. Bahkan lebih tinggi dari harga
sebelumnya. Mak benar-benar dibuat pusing dengan kenaikan harga itu. Tapi aku
tahu betul, Mak pasti selalu punya solusi saat harga beras melambung tinggi.
Ya, selama itulah, aku dan Mak berpuasa dari ikan. Untuk beberapa waktu kami
menjadi vegetarian.
Hari
ini sepulang sekolah, aku mampir di kedai Kak Nah untuk mengambil uang hasil penjualan pisang goreng yang
kautaruh tadi pagi dikedainya. Semuanya ada dua belas ribu. Ku ambil uang dua
ribuan dan kuserahkan pada Kak Nah. Sisanya kuselipkan dalam kantong rokku.
Setelah pamit sama Kak Nah aku pun pulang kerumah.
Dirumah
Mak menanti didapur. Seperti biasa aku mencium aroma harum telur dadar asam u. Ludahku rasanya tak henti
mengalir, cepat cepat kuhampiri Mak didapur.
“Assalamu’alalikom”,
ucapku sambil membuka pintu dapur.
“Wa’alikomsalam”,
jawab Mak dengan logat Acehnya yang kental. Mak tersenyum melihat kedatanganku,
anak gadis semata wayangnya.
“Boh jak gantoe laju bajee mangat ta pajoh bu”,
kata Mak lembut. Mak paling senang tiap kali melihatku pulang sekolah. Aku
menurut, kulangkahkan kakiku menaiki rumah panggung sederhana tempat kami
menetap. Ku ganti baju sekolahku dengan baju rumah yang sederhana. Setelah itu,
kuhampiri Mak yang sedang menyiapkan makanan diatas meja.
Tiba-tiba
aku teringat sesuatu. Dua hari yang
lalu, Bu Cut, wali kelasku disekolah menyampaikan bahwa sebentar lagi kami akan
menghadapi UAN, jadi sekolah memutuskan mengadakan les sore. Les ini
dimaksudkan agar para siswa lebih memahami materi UAN. Dan untuk kelancaran les
itu, pihak sekolah meminta kesediaan siswa untuk membayar uang les senilai dua
ratus ribu.
Aku
berpikir sejenak. Mungkin Mak tidak punya uang sebanyak itu, tapi aku
memberanikan diri menyampaikan hal itu kepada Mak.
“Mak,
minggu depan Mutia ada les sore di sekolah”, ujarku pada mak selepas shalat
dhuhur. Saat itu Mak sedang duduk-duduk diatas panteu sambil menikmati angin yang berhembus pelan.
“Pakoen teuman?”, Tanya mak beberapa saat
kemudian.
“Di
bilang sama ibuk guru kami harus membayar uang les”, jawabku pelan. Mak menoleh
sesaat, ku kira Mak akan mengeluhkan kekurangan uang. Tapi, kata-kata Mak mengejutkanku.
“
Padum? Pajan teuman beuna?”,tanya Mak lagi, raut mukanya tampak serius.
Aku
menghela napas, berharap Mak tidak akan terkejut.
“
Dua ratus ribu, harus dilunaskan dalam minggu ini”, jawabku dengan sedikit
menahan suara. Ku kira Mak akan mengomel. Tapi Mak kelihatan tenang-tenang
saja. Beliau hanya mengangguk anggukkan kepala dan berkata pendek.
“Kajeut, kajeut!”.
Perasaanku
langsung lega. Hari ini hari terakhir pelunasan uang les. Tapi Mak belum
kunjung memberikan uang. Kupikir mak pasti lupa. Aku memberanikan diri untuk
meminta.
“Mak,
hari ini hari terakhir kasih uang les”, ujarku saat sedang memakai jilbab
didepan cermin. Mak sedang melipat baju-baju yang kemarin dijemur.
“
Oh nyoe! Mak karab tuwoe neuk.
Uangnya ada dalam lemari, dalam dompet”, kata Mak. Aku membuka pintu lemari,
mendapati dompet lusuh punya Mak. Ku buka dompet itu, aku terkejut mendapati
banyak sekali uang disana. Aku bingung, dari mana Mak dapat uang sebanyak ini.
Kupandangi tangan mak. Mataku terasa panas.
“
Mak, kalau Mak tak ada uang. Mak bilang sama Mutia. Kenapa Mak jual cincin jeunamee Mak? Itu kan satu-satunya
barang berharga yang Mak punya”, kataku sedu sedan. Kupeluk tubuhnya yang
ringkih.
“Neuk, kalau kamu sudah pandai, semua
barang berharga bisa kita beli. Sekolahlah yang rajin, neuk!”,kata Mak sambil mengusap kepalaku. Matanya sendiri basah.
Aku
tak kuasa menahan tanggis. Kupeluk lagi tubuh Mak, dalam hati aku berjanji
tidak akan mengecewakannya. Dan soal cincin jeunamee
Mak, akan kuganti nantinya dengan cincin yang lebih mahal. Setelah aku
berhasil.
Keterangan
:
-
ka limong blah ribee : sudah
lima belas ribu
-
Allah hai Poe. Breuh ka di ek yum jeut keu limong blah
ribee, eungkoh jak u blang manteng golom di
ek, boh pat ta cok tsen? :Ya Allah ya
Tuhan, harga beras sudah naik jadi lima belas ribu, upah membantu di sawah saja
belum naik, darimanakah kita dapat uang?
-
Dua uroe treuk ka di ek loem : beberapa
hari lagi pasti naik lagi harganya
-
Boh jak gantoe laju bajee mangat ta pajoh bu :Ya
sudah, ganti baju dulu biar bisa makan.
-
Pakoen teuman? : Memangnya
ada apa?
-
Padum? Pajan teuman beuna? :
Berapa? Kapan harus ada?
-
Kajeut, kajeut! : Baiklah,
baiklah!
-
Oh nyoe! Mak karab tuwoe neuk. :
Oh iya, ibu hampir lupa, nak!
-
Jeunamee : Mahar
*Menggunakan bahasa sehari-hari khas
Aceh Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Orang bijak tinggalkan jejak :)
Masukan dan kritikan yang baik dan membangun sangat ana harapkan dari Anda. Silakan di koment ^_^