Aku berjilbab
sejak kelas 4 SD. Meskipun saat itu jilbab bertengger di kepalaku, tetapi
bajuku masih berlengan pendek dan rokku masih rok selutut. Namanya juga masih
anak-anak.Walaupun begitu, orang tuaku tetap menyuruhku berjilbab. Maklum,
keluargaku lumayan sangat memperhatikan masalah agama. Ketika itu, berjilbab
bukanlah keinginanku, tetapi semata-mata karena kedua orang tuaku, terutama
ayahku memerintahkanku memakai jilbab ketika keluar rumah. Waktu itu, yang
terpikirkan di kepalaku, alasan mengapa ayahku menyuruhku berjilbab adalah
karena aku malas menyisir rambut, sehingga rambutku sering berterbangan seperti
rambut singa. Ya, aku bisa menerima alasan itu. Dan itulah yang menjadi alasan
pertama mengapa aku mengenakan jilbab.
Waktu terus
bergulir, dan aku sedikit demi sedikit mengubah kebiasaanku yang malas menyisir
rambut. Alhasil, rambutku terus rapi mengkilap karena rajin dioles minyak
rambut “Amla”. Tetapi, tetap saja, ayah dan ibuku tidak mengizinkanku buka
kepala di luar rumah, meskipun aku sudah mendandani rambutku dengan sangat
rapi. Yang muncul di pikiranku saat itu adalah, rambut rapi, berarti boleh buka
jilbab. Lagi pula, umurku saat itu belum menginjak usia balig. Jadi, tak akan
mengapa jika aku memperlihatkan rambutku pada orang lain.
Semburat tak
setuju dari wajah ayah dan ibuku langsung membuatku urung tak memakai jilbab
walaupun rambutku tertata rapi. Sekaligus aku mengerti, bahwa jilbab bukan
untuk menyembunyikan suatu kekurangan seperti rambut yang kusut dan berantakan,
melainkan memang merupakan sebuah kewajiban, tentu saja belum berlaku padaku
saat itu, tetapi aku mengerti, ini adalah upaya orang tuaku membiasakanku untuk
berjilbab sehingga nanti ketika datangnya masa baligku, aku tidak lagi merasa
canggung memakai jilbab.
Faktor lainnya
mengapa aku memakai jilbab ketika itu adalah karena daerah tempat aku dan
keluargaku tinggal adalah daerah yang menerapkan syari’at Islam. Jadi, semua
muslimah di daerah kami wajib memakai
jilbab atau kerudung. Dan jika ada yang tidak memakainya, maka orang-orang akan
bertanya, apa agamanya? Mengapa demikian? Karena seorang wanita yang tidak
memakai jilbab bagi orang-orang di daerahku, sama sekali tidak mempunyai suatu
cerminan bahwa seorang wanita itu muslimah. Jadi, dapat kusimpulkan bahwa
jilbab adalah cerminan bahwa seorang wanita itu beragama Islam.
Terlepas dari
beberapa faktor mengapa aku berjilbab di atas, setelah beberapa tahun berjilbab,
aku mulai bertanya-tanya, mengapa sebenarnya aku berjilbab? Aku tidak ingin
menjawab bahwa itu semua karena dorongan orang tua atau karena lingkungan, aku
ingin sebuah jawaban yang muncul dari hatiku sendiri. Jawaban yang bisa
memberikanku pencerahan sehingga aku akan terus menerus berjilbab dan tak akan
mau melepaskannya.
Jawaban yang
kutemukan seringkali beralasan supaya aku tidak akan diganggu oleh laki-laki
nakal yang suka bercuit-cuit ria ketika ada gadis yang lewat. Atau supaya
laki-laki tidak akan terangsang oleh auratku yang terbuka. Belakangan itu
kuketahui bahwasanya kaum adam itu mempunyai antene yang panjang, sehingga
ketika melihat segelintir aurat kaum hawa yang terbuka, maka mereka kemudian
berpikir, menerawang, menjelajah, dan mem-browsing sampai kemana-mana. Lho? Kok
aku bisa menyimpulkan seperti itu, kan setiap orang mempunyai iman sendiri yang
membentengi mereka, bukan salah perempuan dong ketika laki-laki terangsang,
salah sendiri imannya ngak kuat. Aku juga awalnya berpikir begitu, tetapi kita
sebagai wanita harus sadar diri, jangan sampai gara-gara kita, muncul musibah
bagi orang lain. Memunculkan dosa. Orang yang melihat kita aja berdosa, apalagi
kita yang jelas-jelas sengaja memperlihatkan. Itulah mengapa jilbab itu perlu.
Tetapi, bukan itu jawaban yang aku inginkan, bukan itu. Memang kedua alasan
yang kusebutkan tadi benar, tapi itu masih berkisar tentang antara aku dengan
orang lain. Yang aku inginkan adalah jawaban yang menyangkutkan hatiku kepada
Rabb melalui jilbab.
Berkah memang jika
kita sering berkumpul dalam majelis keagamaan dan keilmuan. Dari sana aku bisa
belajar banyak hal. Tak jarang kudapati cerita-cerita dan kisah orang-orang
yang menjaga auratnya, orang-orang yang teguh pada komitmennya untuk berjilbab
seutuhnya sehingga hari demi hari, minggu demi minggu dan bulan beranjak ke
tahun, aku dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa berjilbab itu bukan semata
agar aurat tertutup tetapi juga karena keridhaan Allah terletak pada jilbab
atau penutup aurat seorang wanita. Bagaimana seorang wanita bisa dikatakan taat
kepada Allah jika ia memilih-milih dalam menjalankan perintahnya. Ukhti, dari
sini aku mengerti, bahwa jilbab itu bukan pilihan, tetapi jilbab itu adalah
kewajiban yang harus kita tunaikan.
Dari sanalah, aku
mulai mengerti bahwa berjilbab itu semata-mata karena perintah Allah. Aku
ikhlas, aku ikhlas, aku patuh kepadaMu Yaa Allah, maka aku berjilbab.
Keikhlasan hati untuk berjilbab karena Allah inilah akhirnya aku berhasil membuktikan
bahwa alasan mengapa aku berjilbab sebelumnya bukanlah alasan, tetapi adalah
manfaat atau hikmah dari berjilbab itu sendiri. Keikhlasan ini juga akhirnya
memberikanku kesejukan meski ku berada dalam balutan yang rapat.
Hingga saat ini,
jilbab terus melekat dalam fisik dan qalbuku. Ketika jilbabku tersingkap di
tempat yang tak semestinya, maka timbul rasa malu yang amat sangat kepada
Allah, memenuhi rongga dadaku sehingga aku merasa menyesal. Alangkah baiknya
jika keindahan yang Allah berikan kepadaku tidak ku beberkan kepada orang lain
dengan memperlihatkannya. Bukan kan kita ini indah ukhti? Maka, kita harus
melindungi keindahan kita dengan hijab.
I wear hijab coz
Allah...
I love hijab coz
Allah...
May Allah be
pleased for me...
Writen with love by : Baraah Khairatunnisa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Orang bijak tinggalkan jejak :)
Masukan dan kritikan yang baik dan membangun sangat ana harapkan dari Anda. Silakan di koment ^_^