Kamis, 24 Oktober 2013

Buah Granat

Ayah selalu punya surprise untuk kami. Salah satunya surprise yang isinya buah granat. Buah granat??? (kabuuuuuur)
Eits, jangan salah sangka dulu. Yuk, simak cerita selangkapnya.


Jreeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeng!!

"Bangun, Nak! Bangun. Ada buah granat," bisik Ayah pelan. Aku membuka mataku dengan malas. Ah, Ayah, ini kan belum pagi. Ujung mataku menangkap kegelapan di ventilasi rumah. Tak hanya aku, Kak Bit, dan Asra juga. Mereka mengucek mata, masih belum sepenuhnya sadar. Sekali lagi, Ayah berbisik, "Cepatlah bangun! Buah granat menunggu, tuh!" Lalu ia pergi menepi ke dekat dinding. Ada piring dan pisau di depannya.


Kami beranjak. Keluar dari kukungan kelambu jaring dan berangkat ke depan Ayah. Tercium bau wangi. Rasanya aku pernah mengendusnya. Tak kuperdulikan. Ayah menyuruh kami duduk rapi. Kami nurut tanpa suara. 

Ayah mengeluarkan kantong kresek hitam dari balik punggungnya. Tiga bulatan nampak samar-samar di dalamnya. Ayah kemudian memperlihatkan isinya. Berupa 3 benda jenis buah-buahan. 
Bentuknya bulat dan besar, sebesar bola takraw, warnanya hijau kekuningan, ada bintik coklat di sekujur badannya, dan yang paling menggoda, aromanya. Wangiiiii.

"Ini dia, buah granat!" seru Ayah. "Nah, sekarang, pergilah cuci tangan," lanjutnya. Kami mulai semangat, berebut mendapatkan gayung yang tak jauh dari tempat kami duduk. Saat itu, kami tidur di kamar panggung sebab Mak baru saja melahirkan anak ke-6, adikku, Kiram namanya. Jadi, kami menemani Mak di kamar panggung ini. Ukuran kamarnya luas, bisa muat dua kelambu besar. Juga ada tempat khusus untuk buang air. Jadi, kami tak perlu repot turun kamar untuk mencuci tangan, di situ saja. 

Selesai mencuci tangan, kami kembali duduk tenang di depan Ayah, mengamati beliau mengupas sedikit demi sedikit buah granat. Terlihat isinya yang kuning cerah, aku jadi ngiler. Ayah, kenapa pelan sekali? Aku sudah tak sabar nih. 

Ayah menyodorkan sepotong besar daging buah granat untukku. Aku menyambarnya dan makan dengan lahap tanpa menghiraukan bahwa aku belum kumur-kumur. Rasanya perpaduan antara manis dan asam, tetapi manisnya lebih dominan. Enak. Ayah menyodorkan sepotong besar lainnya masing2 untuk Kak Bit dan Asra. Kembali kepadaku, sepotong besar kedua yang langsung hilang, lumer dalam mulut perontokku. Tak ada yang menyerobot, semua mendapat giliran sepotong besar masing-masing. Dan yang terakhir, mendapatkan bijinya yang bisa dihisap. Tetap nikmat. 

Tak berhenti di situ, Ayah mengupas buah granat kedua dan ketiga. Dan alhamdulillah, sendawa-sendawa tanda kenyang terdengar dari mulut kami. Ayah mengakhiri tugasnya, membereskan kulit-kulit dan pisau, lalu beranjak. Senyum puas jelas terkembang di bibirnya. Kau tahu? Ayah bahkan tak makan sepotongpun buah granat yang dikupasnya tadi, sepotong pun. Ia hanya menatap kami menikmatinya dengan lahap. Saat kusodorkan bagianku untuknya, ia menolak. "Ayah tak mau, makanlah untukmu," ujarnya. Kurasa, Ayah sudah kenyang hanya dengan melihat kami makan. Aaah, Ayah! Kenapa selalu begitu...

Buah granat sudah ludes, pagi mulai memutih. Ini waktunya kami bersiap-siap untuk ke sekolah. Dengan wajah bahagia.

Setelah beberapa lama, aku menemukan bahwa inisial buah granat hanya ilustrasi Ayah saja. Nama sebenarnya dari buah tersebut adalah mangga bacang. Yaa, tapi tetap saja, buah bacang yang kami makan ketika itu, buah granat yang lezat sekali. Terima kasih, Ayah. I love you... :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Orang bijak tinggalkan jejak :)

Masukan dan kritikan yang baik dan membangun sangat ana harapkan dari Anda. Silakan di koment ^_^