Senin, 09 September 2013

Harimau Berhati Lembut (Part 1)

Dear muslimah,

Aku mau balik ke awal tahun 2003, saat aku masih kelas 4. Itu adalah saat-saat ketika darurat militer sedang berlaku di Aceh. Ya, ketika itu konflik antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dengan RI (Republik Indonesia) sedang dalam masa panas-panasnya. Sehingga pemerintah akhirnya memutuskan untuk mendirikan pos TNI tambahan di beberapa daerah yang dianggap rawan akan keberadaan pasukan GAM. Nah, daerah tempatku tinggal termasuk salah satu dari daerah rawan tersebut. Dan akhirnya, berdirilah sebuah pos TNI AL (Marinir) lengkap dengan tiga tank besar di kampungku. Lebih tepatnya, di rumahku, maksudku, di depan rumahku dan mereka juga memakai sebagian ruangan rumahku. Baiklah, kita mulai dari awal.

Saat itu, aku dan beberapa temanku, diantaranya sepupuku, sedang pulang dari sekolah tempat les kami, MIN Gampong Teungoh. Sebenarnya itu bukan sekolahku. Sekolahku bernama MIN Babah Buloh, di desa Babah Buloh, bersebelahan dengan desa Gampong Teungoh. Sementara aku tinggal di desa Meunasah Pulo, tetangganya desa Babah Buloh dari sisi selatan. Jadi, jika aku ingin pergi ke sekolah tempat aku les bersama 9 orang teman yang mendapat peringkat 10 besar di kelas, aku harus melewati jalanan desa Babah Buloh dulu, baru sampai ke Gampong Teungoh. Jaraknya kira-kira 2,5 km. Kadang di antar, kadang naik sepeda, kadang juga jalan kaki. Nah,  kebetulan sore itu, aku bersama sepupuku, pulang dengan berjalan kaki. 

Ada yang aneh dengan badan jalan sore itu. Seperti ada bekas ban traktor tetapi bukan. bekas ban mobil Reo yang biasa digunakan oleh TNI, itu juga bukan.  Itu seperti sesuatu yang lain yang belum pernah kulihat. Bekas itu terus ada di jalan hingga aku memasuki desaku, hingga sampai di depan masjid, bekas ban itu membelok. Di depan masjid ada rumah Kak Raida dan Bang Hamdako, suami istri yang mempunyai 6 orang anak. Rumahnya masih baru, belum di plaster, dan ukurannya lumanyan besar dibanding rumah-rumah lainnya. Halamannya luas, dan aku terkejut. Sekarang ada 3 tank besar sedang parkir di sana. Tahulah aku bekas ban apa yang ada di jalan. Tank. Itu adalah kendaraan paling mengerikan yang pernah kulihat. Tak berani ku pandangi berlama-lama, walaupun aku ingin. Aku mempercepat langkahku menuju rumah, tak jauh dari tempat itu.

Rumahku letaknya di persimpangan tiga berbentuk Y. Kalau belok kiri, jalan itu akan menuntunmu menuju bukit desa dan jika kamu meneruskannya, kamu akan menemukan  gerbang dan pemandangan PT KKA (Kertas Kraft Aceh). Pabrik kertas semen. Sekarang pabrik itu sudah tutup karena kekurangan bahan baku. Sementara kalau belok kanan, jalan itu akan menuntunmu menuju desa Punteut. Rumahku berdiri tepat di ketiak jalan belok kiri, Agak jauh dengan badan jalan.

Dengan kedatangan tank tersebut, desa kami mulai kasak kusuk. Ada yang resah, ada pula yang senang. Seperti aku, meski tank-tank itu mengerikan, dalam hati sebenarnya aku suka. Aku pikir, adanya TNI di desa kami bisa membuat sedikit kenyamanan, karena orang-orang GAM tak berani mendekat. Yah, namanya juga anak-anak, tak mengerti apa-apa.

Keesokan harinya, aku pulang sekolah cepat, berhubung hari jum'at. Sekitar jam 10.00 WIB aku sudah ada di rumah. Belum ada orang. Semua masih di sekolah, juga Mak dan Ayah yang berprofesi sebagai guru. Adikku yang bungsu, masih di tempat titipan. Tak jauh, di seberang sawah samping rumah. Aku sudah terbiasa begini, pulang sekolah sendiri. Masuk lewat dapur, ganti baju, terus pergi lagi. Main.

Terdengar beberapa suara di teras. Rupanya, para tentara. Sepertinya sedang patroli. Aku segera keluar. Mereka sedang melihat-lihat sekeliling rumahku. Beberapa orang bercakap-cakap sambil memerhatikan buah jeruk bali di halaman rumah yang sedang ranum. Buah itu hanya sebiji saja. Harap-harap cemas, dalam hati aku berdoa semoga mereka tidak berniat meminta.

"Ini rumah Pak Keucik?" tanya seseorang, berlogat jawa. Tampangnya sangar, kulit sawo matang.
"Iya!" jawabku pendek. Sebenarnya aku takut. Tapi, kuusir ketakutanku. Aku cengengesan.
"Bapak mana?" tanyanya lagi.
"Pergi sekolah".
"Adek ndak sekolah?"
"Sudah pulang".
Aku tak tahu apa yang dikatakan setelah itu. Mereka berbicara sesamanya dengan bahasa jawa. Aku hanya berdiri mendengarkan.

"Itu, buah apa?"
"Buah giri."
Mereka kelihatan bingung. Saat itu aku belum tahu kalau bahasa Indonesianya itu buah jeruk bali.
"Rasanya seperti apa?"
"Manis, asam, agak pahit."
"Boleh dipetik?"
Deg! Itu buah satu-satunya. Kami sekeluarga sudah menunggu begitu lama untuk siap dipetik. Tapi aku tak berani untuk bilang jangan.

"Itu punya ayah," jawabku. Semoga mereka mengerti.
"Oo. Adek kan bisa bilang nanti sama ayah." Mereka terlihat begitu menginginkannya. Aku kehabisan akal.
"Ya sudah. Boleh. Dipetik terus," kataku akhirnya dengan pasrah.

Mereka memetiknya. Mengupasnya dan memberiku satu ulas. Aku makan dengan tenang. Tanpa bersuara. Dari jauh kulihat Kak Rusmi, orang yang menjaga adik bungsuku datang. Aku lega. Dari tadi aku ingin pergi dari sini. Main.

Pulang main, Ayah bertanya, kemana hilangnya jeruk bali kesayangan kami semua? Aku bilang, "Para tentara itu memintanya, Yah! Aku tak berani bilang jangan. Takut." Ayah mengangguk. Kurasa Ayah mengerti.

Sorenya, setelah ayahku pulang dari masjid menghadiri rapat. Kudengar suara gemuruh dari arah utara. Semakin dekat, terlihat bahwa itu bunyi tank. Hendak kemana mereka, batinku. Tahu-tahu, mereka belok ke halaman rumahku. Menabrak pagar bambu yang memang sudah rusak dan parkirlah mereka semua, tiga tank marinir lengkap dengan rudal-rudalnya.

Ternyata tadi pagi mereka meninjau lokasi tempat tinggal. Tempat yang kemarin mereka tinggali dianggap kurang strategis meski berada di depan masjid. Mereka tentu cocok dengan rumah kami ini. Betapa tidak, di depannya persimpangan, di luar ada sumur, wc, halamannya luas, apa lagi? Huft, dalam hati aku menggerutu. Kenapa harus di sini, sih? Tapi, aku tak menemukan tempat lain yang lebih cocok untuk menyarankan mereka pindah. Lagian, siapa yang berani?

Ayahku bijaksana. Ia memang haruslah seorang yang bijaksana karena ialah kepala desa di kampung ini. Ia mulai memikirkan bagaimana caranya hidup bersama para marinir itu sedang ia mempunyai istri yang cantik dan dua anak perempuan yang imut berusia 10 tahun dan 13 tahun, aku dan kakakku. Ia mulai membuat rencana. Rumah kami memiliki teras, lebarnya sekitar 3 meter. Teras itu membentang dari depan rumah hingga samping rumah bagian kiri kemudian berjumpa dengan pintu yang menuju dapur. Melalui pintu itulah aku biasanya masuk sepulang sekolah. Nah, sekarang pintu itu yang akan menjadi pintu utama kami. Sementara pintu utama sebenarnya yang ada di depan akan ditutup rapat. Tak ada akses. Kenapa? Karena teras itu dipakai oleh para marinir dan ada satu ruangan di ujung sebelah kanan teras (kantor khusus kepala desa) dan itu pun dipakai oleh mereka. Otomatis, itu adalah area mereka sekarang. Aku tak bisa main-main lagi di area itu. Dan satu lagi, peraturan untuk aku dan kakakku. Kami tak boleh menginap di rumah, kecuali saat ayah ada. Sebelum magrib kami harus sudah ada di rumah Pak Wa (abangnya Ayah) dengan dalih untuk mengaji. Ya, mana mungkin kan ayah bilang sama mereka bahwa ia ingin melindungi putri-putrinya dari prajurit-prajurit asing yang tiba-tiba tinggal berbarengan dengan kami, nanti mereka jadi merasa gimana gitu. Walaupun di sana kami belajar mengaji juga.

BERSAMBUNG...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Orang bijak tinggalkan jejak :)

Masukan dan kritikan yang baik dan membangun sangat ana harapkan dari Anda. Silakan di koment ^_^