Selasa, 17 September 2013

Layangan Pekkong Bag. I

Aku sedang mencoba menyatukan dua lidi berukuran sehasta dengan benang jahit, hanya itu yang kupunya. Membuatnya membentuk seperti huruf X. Lalu ujung atasnya kuikat lagi, kutekuk sedikit, kuikat lagi di ujung bawahnya, kemudian sisa benang kuputar pada sisa kaki X yang bawah, kulanjutkan dengan mengikatnya kuat-kuat menuju tangan X di atas, tanpa lupa menekuknya sedikit. Adikku, Asra, hanya menatap apa yang kulakukan sambil sesekali memainkan kerikil di tanah. Terlihat ia berhayal bahwa kerikil itu kesatria baja hitam dan kerikil lainnya monster. "Pruuuush, tichuw, tichuw," semburnya beserta air liur. Untung aku tak kena.

Ayahku belum jua pulang, padahal perutku sudah keroncongan. Ibu tak ada, penataran membuatnya harus tinggal di sana setidaknya sampai sore hari. Bibirku manyun, perutku menjerit lagi. Lapar sekali.

Kupandangi langit, biru, bersih. Terik betul. Tapi, angin sepoi-sepoi membuatnya tak terasa panas. Pun ada bayangan gedung yang menaungiku. Nah, kerangka layanganku siap. Aku kembali ke dalam untuk mengambil beberapa helai koran. 

"Jangan sentuh, ya, Jiya. Nanti patah," kataku pada adikku Asra. Jiya adalah nama panggilannya. Kurasa ia tak mendengar, masih asyik dengan kerikilnya. 

Aku kembali bersama dua helai koran. Satu helai untuk badan layang-layang dan satu lagi untuk ekornya. Aku suka layangan dengan ekor yang panjang. Terlihat menyenangkan ketika ditiup angin, berlenggak-lenggok. 

Aku masih butuh satu bahan lagi. Lem. Dari mana aku bisa mendapatkannya? Aku tak punya uang. Satu-satunya harapanku adalah tepung kanji di dapur. Semoga ibu punya sisa tepung kanji. Oh, benar saja, masih ada tepung kanji dalam stoples. Aku mengambilnya sejumput besar, mencampurnya dengan air dan memasaknya dengan api. Tempurung kelapa yang jadi wajannya. Jangan kira aku tak mahir dalam hal ini, 6 tahun sudah aku punya pengalaman main masak-masakan selama di kampung. 

Adonan sudah berwarna bening. Itu tandanya lemku sudah jadi. Aku mengangkatnya dari api dan menunggu sampai ia dingin. Sembari menunggu, aku memotong-motong lembaran koran selebar 3 cm untuk dijadikan ekor. 

Ha! Lemnya sudah dingin. Aku membalurkannya pada kerangka layanganku kemudian menempelnya pada koran yang tersisa. Kemudian pinggirnya kupotong, Maka, kerangka layanganku sekarang sudah punya baju. Aku menambahkan ekornya setelah kusambung beberapa potong. Maka, taraaaa! Layanganku sudah jadi. Aku mengikat benang tepat di persilangan lidi dan layanganku siap untuk naik. 

Tak usah jauh-jauh. Belakang rumahku, eh, rumah sementaraku sejauh mata memandang adalah sawah. Tak ada padinya karena sekarang sawahnya kering, baru panen sekitar sebulan yang lalu. Jadi, aku berlari-lari kecil di pematang sambil menaikkan layanganku. Asra mengekor di belakang. Rasa laparku mendadak hilang. Aku terfokus bagaimana caranya layanganku harus terbang setinggi-tingginya.

BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Orang bijak tinggalkan jejak :)

Masukan dan kritikan yang baik dan membangun sangat ana harapkan dari Anda. Silakan di koment ^_^