Senin, 23 September 2013

Layangan Pekkong (Bag. 2)

Layanganku terbang tinggi, hingga benang jahit yang kupunya sudah terulur semua. Aku puas, layanganku bisa terbang dengan baik, dan ekornya itu lo, membuatku tak ingin menggelas benangnya sampai kapanpun. Akan kubiarkan ia terus terbang meski malam datang menghadang, batinku. 

Sedang asyik-asyiknya, tiba-tiba kudengar sayup-sayup suara ayah memanggil kami berdua. Tangannya melambai-lambai menyuruh kami pulang.

"Pajoh buuuu!" seru Ayah. Itu artinya, makan nasiiiiii!


Aku berlari-lari pulang ke rumah dengan semangat.  Layanganku tak kubiarkan turun. Kutuntun ia kemanapun aku berlari. Asra bersorak-sorai gembira melihat ekor-ekor layanganku. Dia ingin memegang benangnya. Aku memberinya sedikit kesempatan dengan syarat ia tak boleh membuat layangannya oleng dan jatuh mendarat ke tanah. 

Sesampainya di belakang rumah, aku memarkir layanganku di sebilah bambu yang ditancapkan tak jauh dari sana. Setelah itu aku masuk ke dalam dan mencari nasi yang dibawa pulang Ayah. Ada, hanya tiga bungkus. Aku mengerti, itu artinya aku harus membagi nasi sebungkus dengan adikku. Sisanya untuk adikku satu lagi, kakakku, Ibu dan Ayah. Sebenarnya aku ingin makan sebungkus sendiri karena terlalu lapar. Tapi aku sadar, saat-saat seperti sekarang aku harus belajar berbagi dengan keluarga karena keuangan kami sedang sulit. 

Kucuci tangan  Asra, juga tanganku sendiri. Lalu kami berdua melahap nasi bungkus itu, hanya ditemani ikan goreng dan sedikit urap. Kering, tapi enak. Bukan karena apa-apa, tapi karena kami berdua makan sambil menatap layangan pekkong kami. Tanpa terasa, nasi sebungkus itu isinya ludes semua.

Begitulah, hari-hariku setelah kami sekeluarga pindah (mengungsi) dari kampung tercinta, Desa Meunasah Pulo. Keadaan yang tidak aman memaksa kami untuk meninggalkan segala-galanya untuk sementara. Sekolahku, TPAku, teman-temanku, sepeda butut dan pohon kelapa gading yang kucintai, semuanya harus tinggal di sana. Sementara aku pergi membawa rasa takut dan trauma. Aku tak ingin lagi tinggal di kampung. Tapi, aku juga tak rela meninggalkan indahnya masa kecil di sana.


Sebab itu, setiap ada kesempatan, aku selalu membuat layangan pekkong. Itu membuatku seolah-olah masih di kampung. Bermain seperti biasa. Membuat layangan, terus menaikkannya, begitu seterusnya. Untuk satu layangan sederhana, paling tahan usianya tiga hari. Terus rusak. Pada kesempatan lain kubuat lagi, tahan dua hari. Layangan yang kubuat hari itu adalah yang kesekian kalinya. Esoknya ia kutemukan terdampar di sawah, bajunya robek-robek. Aku baru ingat, embun malam membuat layangan basah dan tak bisa terbang lagi. Aku mengambil layangan itu lalu kuremukkan, jadi sampah. Benangnya kugelas, bisa dipakai lagi. Dan inilah waktunya mengambil dua lidi lagi di sapu lidi Ibu. :)

Rumah 68 A, 24 Sept 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Orang bijak tinggalkan jejak :)

Masukan dan kritikan yang baik dan membangun sangat ana harapkan dari Anda. Silakan di koment ^_^