Senin, 09 September 2013

Harimau Berhati Lembut (Part 2)

Waktu beranjak. Minggu dan bulan berlalu. Rupanya tinggal berbarengan dengan para marinir itu tak sesulit yang kubayangkan. Mereka ramah, baik, dan sopan. Kami yang di rumahpun jadi akrab dengan mereka meski awalnya agak takut. Mereka pun rajin berbaur dengan masyarakat sekitar, bahkan ada yang membantu turun ke sawah. Mereka juga membantu ayahku menanam pohon kelapa. Ternyata, mereka taklah seram-seram amat. Mereka semua muslim, kecuali satu orang, aku sudah lupa namanya. Dia orang yang tinggal sendiri di pos ketika shalat jum'at sedang berlangsung. Aku tidak ingat lagi wajahnya. Lagipun, ia jarang berbaur dengan kami.

Tiga tank itu masih parkir di halaman rumahku. Dua diantaranya, tak pernah diajak keliling. Hanya satu yang sering dikendarai kemana-mana. Yang satu itulah, aku pernah masuk kedalamnya. Rasa takut pada anggota marinir itu terkadang kalah sama rasa ingin tahuku dan adik laki-lakiku, Asra. Hingga suatu hari, kami mengendap mendekati si tank. Eh, rupanya kepergok. Ada seseorang yang melihatku sedari tadi. 

"Ngapain di situ?" tanyanya. Oh, itu Pak Kem,, eh, maksudku Bang Kemal. Mereka menyuruhku memakai sapaan 'bang' kecuali sama komandan. Pak Komandan, Agung namanya, harus dipanggil dengan sebutan Pak Agung, tidak boleh Agung saja, atau bang Agung. Aku pernah menyebutnya 'bang' sekali. Kedengarannya aneh, jadi, tak pernah kuulangi. 

Bang Kemal ternyata juga baik. Ia malah melambaikan tangan pada kami. Katanya, " Sini, jangan takut!" Aku dan adikku mendekat. Ia kemudian turun dan mengangkatku ke atas tank. Oooh, begini rasanya. Nyaman juga. Hehe. Aku mencoba melihat isi tank itu melalui kaca kecil yang seperti jendela. Di dalamnya berbaris rudal yang ujungnya berwarna merah dan pangkalnya berwarna abu-abu agak putih. Jumlahnya lumayan banyak. Selain rudal-rudal itu, isi tank juga bermacam-macam. Ada buku, handphone, dan baju seragam loreng yang digantung di gantungannya, juga kaleng-kaleng makanan. Tercium aroma lotion anti nyamuk.

Para prajurit itu, mereka selalu menggendong senjatanya kemana-mana. Bahkan ke WC sekalipun. Aku pernah bertanya, kenapa begitu, harus dibawa hingga ke WC. Jawabnya, karena senjata itu harus mereka jaga sepanjang waktu, bahkan saat tidur. Ada yang nyeletuk bahwa senjata itu istri keduanya. Aku percaya-percaya saja. Kan masih kecil. 

Diantara semua-semua prajurit marinir yang ada di pos, ada dua orang yang paling kuingat. Hari Triatno, Muhammad Taufiq dan Bang Heri. Hari Triatno, ia seorang prajurit dokter. Bang Hari, begitu kami memanggilnya adalah orang yang sangat ramah dan baik. Ia sering membantu kami memasak air di belakang rumah ketika sore. Shalatnya tak pernah bolong, dan tilawahnya, wuiiiih, lancaaaaaar. Setiap selesai shalat, selalu terdengar lantunan murattal ayat suci darinya. Aku tahu, karena ia bersama Bang Taufiq dan Bang Heri tinggal di kamar teras, yaitu kamar yang dulunya dijadikan kantor keuchik sama ayah. Ia juga pernah cerita bahwa ia lulusan pesantren. Pantas saja. Dari sanalah, aku mulai mengagumi sosok Bang Hari.

Suatu hari, ia pulang patroli dalam keadaan pincang. Rupanya, tadi ada kontak tembak. Bang Hari mengaku kaki kirinya tersangkut pagar saat berlari. Karena itu, selama beberapa hari, kaki kirinya digips dan ia harus berjalan dengan bantuan tongkat. Kasihan sekali, ia seorang dokter untuk kawan-kawannya tapi ia sendiri malah sakit. Tapi, melihat ia begitu tenang dan asik tertawa-tertawa aja, aku jadi lega. 

Ia sering membantu orang kampung yang sakit. Ia bahkan mengadakan pemeriksaan gratis di meunasah kampung. Pak Wa Lathief, yang sering berobat padanya, adalah orang yang menangis sampai sesegukan saat para tentara itu meninggalkan kampung kami.

Ah, mereka. 
Suatu kali pernah mengejutkanku dengan kepergian yang begitu tiba-tiba.
Aku bahkan tak sempat pamit. Aku sedang di tempat les. 
Pulangnya, yang kutemukan hanya sisa-sisa dan bekas rantai tank di tanah halaman rumah. Sedih, mengingat keakraban dengan mereka. 
Tapi, esoknya, mereka kembali lagi. Kembali mendirikan pos di rumah kami dan hari-hariku kembali ceria.
Lima bulan kemudian, saat pengumuman bahwa darurat militer di Aceh diumumkan segera berakhir, mereka ditarik kembali ke pusat. Ya, itu saat mereka benar-benar meninggalkan kami semua. Mereka pergi dan meninggalkan kenangan indah bagiku. Selama beberapa bulan mereka bersama kami, aku tak pernah merasa was-was. Aku merasa, ada yang menjagaku. Meski, terkadang mereka menimbulkan ketakutan tersendiri karena keberadaan senjata mereka. 

Well, Bang Taufiq sebenarnya meninggalkan alamat dan nomor telponnya sama kami. Kami mencoba menghubunginya beberapa kali untuk silaturrahmi, tapi tak pernah nyambung. Hingga beberapa tahun setelahnya, buku telpon tempat alamat dan nomor itu tercantum hilang tak tahu kemana. Banyak hal pahit yang terjadi setelah kepergian mereka. Baku tembak, peneroran ayah, tamu tak diundang, kepindahan kami ke tempat yang lebih aman, trauma, tsunami dan hal-hal lain yang membuatku ingin amnesia.

TAMAT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Orang bijak tinggalkan jejak :)

Masukan dan kritikan yang baik dan membangun sangat ana harapkan dari Anda. Silakan di koment ^_^